Kamis, 26 Mei 2011

Cerpen Islami : JIKA PAK GURU JATUH CINTA

Pak Pras merasakan perutnya keroncongan. Pagi tadi ia memang belum sempat sarapan. Ia hanya tidak mau terlambat masuk karena ia harus mengajar pada jam pertama. Baginya, segala sesuatu harus dimulai dari dirinya sendiri sebelum diajarkan kepada orang lain. Jika ia mengajarkan kedisiplinan kepada murid-muridnya, ia sendiri yang harus menerapkan kedisiplinan itu terlebih dahulu. Dan seandainya semua guru bersikap sama seperti Pak Pras, insya Allah sekolah akan bertambah maju. Pak Pras memang terkenal sebagai guru yang paling disiplin. Sportif. Jujur. Muda. Tampan. Masih bujangan lagi. Pak Pras disukai oleh hampir semua siswa karena sifatnya yang ramah. Juga dekat dengan siswa tapi tetap bisa membatasi diri.
Pak Pras memutuskan untuk sarapan di kantin. Ia keluar dari Kantor Guru. Dilihatnya anak-anak putra sedang bermain voly. Ia terus berjalan menuju kantin. Di depan Kelas II A didapatinya beberapa siswi sedang bergerombol.
“Lho, olahraga kok di sini?” sapa Pak Pras ramah.
“Pak Budi nggak datang,” serempak mereka menjawab.
“Mungkin sebentar lagi beliau datang,” Pak Pras mencoba membela teman seprofesinya.
“Kemarin saja sudah kosong. Memang Pak Budi nggak disiplin,” seorang siswi menyahut.
“Iya, Pak. Pak Pras saja yang jadi guru olahraganya!” seorang lagi menimpali.
“Iya, Pak Pras. Kan asyik!” yang lain ikut memberi dukungan.
Pak Pras hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya dan berlalu dari tempat itu. Masih didengarnya mereka tertawa. Wah, gawat nih! batinnya.
Mendadak ia menghentikan langkahnya ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh di dalam kantin. Farida! Jantung Pak Pras langsung berdegup kencang. Dan celakanya, gadis itu kini menoleh ke arahnya. Pak Pras langsung membelokkan langkahnya ke arah WC. Beruntung letak WC agak dekat dengan kantin, sehingga orang lain tidak mengira kalau sebetulnya ia hendak ke kantin.
Pak Pras langsung membuka pintu WC dan dengan cepat menyelinap masuk. Dikuncinya pintu WC untuk memastikan tak ada orang lain yang bisa masuk. Lalu ia bersandar di pintu untuk menata perasaannya. Ya Allah… mengapa jadi begini? keluhnya dalam hati. Apakah aku mulai jatuh cinta pada gadis itu?
Di dalam WC guru muda itu tidak melakukan apa-apa. Ia hanya sibuk menata hatinya sambil bersandar di pintu. Selama ini ia selalu bisa menguasai perasaannya untuk tidak punya urusan asmara dengan siswi. Tapi kini? Ia seperti tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk menepis perasaannya terhadap Farida. Entah sejak kapan perasaannya terganggu dengan sosok gadis manis itu. Padahal ia sudah berusaha untuk bersikap wajar terhadap Farida. Ia yakin ia bisa mengatasi perasaannya. Namun ternyata kali ini ia kena batunya. Semakin ia berusaha bersikap wajar, semakin kuat pula perasaan itu membelit jiwanya. Kini ia baru menyadari, bahwa ternyata jiwanya tidak sekuat yang diduganya. Dan ia juga tak habis pikir, bagaimana ia bisa tertarik terhadap Farida? Karena wajahnya? Ia merasa bukan itu. Gadis itu tidak tergolong cantik. Hanya wajahnya cukup manis. Atau karena penampilannya? Ia juga merasa bukan itu. Farida tidak berjilbab, padahal gadis idamannya adalah gadis yang berjilbab. Lalu apa? Pak Pras tidak tahu apa yang menyebabkan ia bisa jatuh cinta kepada Farida. Ia seperti kembali lagi mengalami masa puber pertama. Ah, cinta…
Ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan perasaan Pak Pras. “Siapa di dalam?”
“Saya! Sebentar!” seru Pak Pras. Buru-buru ia membasahi tangannya dengan air. Kemudian bergegas membuka pintu.
“O… Pak Pras,” ujar Bu Sri begitu melihat siapa yang baru saja keluar.
“Iya, Bu. Silakan!” sahut Pak Pras sambil tersenyum.
Pak Pras melirik sekilas ke arah kantin. Di sana masih ada Farida yang sedang memandang ke arahnya. Kembali jantung Pak Pras berdegup kencang. Cepat-cepat Pak Pras meninggalkan tempat itu. Ia bahkan tak berani lagi menengok ke arah kantin. Ia kembali melangkah menuju ke Kantor Guru. Masih didapatinya siswi-siswi yang bergerombol di depan kelasnya.
“Pak Pras kok pucat, sich?” seorang siswi langsung berkomentar.
Dada Pak Pras langsung bergemuruh. Jangan-jangan mereka tahu tentang perasaanku, batinnya. Ia mencoba tersenyum. Getir.
“Pak Pras belum sarapan, ya?” yang lain menimpali, seakan-akan tidak peduli dengan perasaan guru muda itu.
“Iya, saya belum sarapan,” ucap Pak Pras jujur, sekaligus untuk menutupi kegugupannya. “Ada yang berbaik hati untuk memesankan soto ke kantin buat saya?”
“Saya, Pak! Saya, Pak!” gadis-gadis itu berebutan menawarkan diri. Dua orang sudah langsung berlari ke arah kantin. Yang lainnya tampak kecewa.
***
Pak Pras menyelesaikan tahajjudnya dengan khusyuk. Ia luruh dalam ketidakberdayaannya. Ia serahkan segalanya kepada kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil.
“Ya Allah… limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku. Tolonglah aku dalam segala pekerjaanku. Mudahkanlah segala urusan bagiku. Aku berlindung kepada Engkau dari segala keburukan. Aku berlindung kepada Engkau dari segala fitnah. Jagalah dan peliharalah diriku. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik penjaga dan pemelihara. Dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan kekuasaan-Mu. Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati, selesaikanlah urusanku dengan gadis yang mengganggu perasaanku. Jauhkanlah fitnah di antara kami. Dan jangan biarkan kami saling menyakiti. Peliharalah kami dengan pemeliharaan dari-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Amin.”
Jiwa Pak Pras menjadi lebih tenang. Ia tak ingin urusannya menjadi berlarut-larut. Selama ini belum seorang pun yang tahu tentang perasaan Pak Pras terhadap Farida. Dan Pak Pras sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Ia merahasiakan masalah itu dengan rapat. Sebab jika orang lain tahu, urusannya bisa menjadi tidak karuan. Ia tidak ingin mengotori citra pendidikan hanya karena menurutkan emosi pribadinya. Sebenarnya ia pun bisa saja mengungkapkan perasaannya kepada Farida dan mendapatkan cinta gadis itu. Ia optimis ia bisa melakukannya karena ia juga paham betul dengan sikap Farida bila sedang berada di depannya. Sikap gadis itu tidak bisa disembunyikannya, bahwa ia juga mempunyai perasaan khusus terhadapnya. Dan beruntung pula bagi Pak Pras karena Farida termasuk gadis pendiam. Mungkin gadis itu juga tidak ingin perasaanya diketahui orang lain.
Selain itu Pak Pras juga memiliki prinsip yang kuat, ia tak akan pernah berpacaran dengan siswi. Selain karena ia tahu hukumnya haram, ia juga menjaga citra guru. Apalah jadinya jika ia melanggar prinsipnya sendiri. Guru berpacaran dengan murid! Pasti berita ini akan menjadi berita yang dahsyat. Wibawa guru akan tercoreng. Segalanya akan menjadi berantakan. Alangkah memalukan.
***
Hari terakhir Ujian Semester Gasal. Pak Pras sudah mengamankan kunci dan map soal ujian untuk Ruang 3. Sebelumnya ia selalu menghindari menjaga ujian di Ruang 3 karena di dalamnya ada Farida, gadis yang akhir-akhir ini membuat perasaannya tidak menentu. Kalaupun kebetulan jadwalnya mengharuskan ia menjaga ujian di Ruang 3, ia selalu mengambil kunci dan map untuk ruang lain lebih dahulu, mendahului guru-guru lain, agar ia tidak menjaga ujian di Ruang 3. Dalam hal ini ia menjadi tidak disiplin. Namun kini ia bertekad harus bisa mengatasi masalah ini. Jika ia tidak berhasil mengatasi perasaannya, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kelak jika ia kembali mengajar di kelas Farida nanti. Oleh sebab itu, hari ini ia memaksakan diri untuk menjaga ujian di Ruang 3. Perasaannya menjadi tidak karuan. Hatinya berdesir-desir. Ia tampak gelisah menunggu sirine tanda masuk berbunyi.
Dan suara sirine tiba-tiba berbunyi. Pak Pras merasakan seperti godam yang memukul jantungnya dengan keras. Jantungnya menjadi berdetak-detak. Kali ini lebih cepat dan keras. Ia pun melangkah dengan perasaan tidak menentu, seakan-akan ia hendak menghadapi perang besar.
Agak gemetar tangannya ketika memasukkan anak kunci ke lubangnya. Lalu dengan cepat ia menuju meja guru dan duduk di kursinya. Jantungnya semakin keras berdetak, memukul-mukul rongga dadanya, seolah-olah hendak meledak keluar. Untuk beberapa saat ia hanya duduk sambil menatap lantai, menata hatinya yang bergemuruh, sambil menunggu semua siswa masuk. Sungguh ia tak berani memandang siapa-siapa saja siswa yang masuk. Yang ia tahu bahwa Farida berada dalam ruangan itu.
“Duduk siap… grak!” seorang siswa memberi aba-aba. “Berdoa… mulai!”
Suasana menjadi hening. Semua larut dalam doa, termasuk Pak Pras. Guru muda itu benar-benar bersungguh-sungguh memohon pertolongan Allah. Dan berangsur-angsur gemuruh di dadanya semakin mereda.
“Berdoa… selesai! Duduk istirahat… grak!”
Pak Pras berdiri. Lalu tangannya merobek tepi sampul untuk mengambil isinya. Jari-jarinya masih agak gemetar meskipun perasannya semakin tenang. Kemudian ia mulai membagi-bagikan soal ujian. Ketika sampai ke bangku Farida, dada Pak Pras bergemuruh kembali meskipun tidak sekeras seperti pertama masuk tadi. Ia meletakkan kertas soal ujian di atas meja Farida dengan cepat, agar tidak kelihatan kalau sebetulnya ia gemetar. Ia pun tak berani memandang wajah gadis itu. Sedangkan Farida sendiri juga hanya berani menatap meja.
Pada akhirnya Pak Pras benar-benar bisa menguasai perasaannya. Detak jantungnya kembali normal. Berkali-kali ia memuji Allah di dalam hati.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Semua berlangsung apa adanya.
***
Wisuda siswa. Para wisudawan datang bersama kedua orang tuanya atau walinya. Semua berwajah ceria. Inilah hari terakhir mereka menjadi siswa setelah selama tiga tahun berjuang menuntut ilmu di sekolah yang mereka cintai ini. segala peristiwa yang terjadi selama itu menjadi kenangan bagi mereka. Ada sedih ada gembira. Ada yang lucu dan ada yang menyebalkan. Semuanya akan terasa manis bila kelak mereka mengingatnya.
Pak Pras sibuk bertugas menjadi penerima tamu bersma Bu Neti. Ia harus selalu memasang senyum ramah. Namun ia tidak merasa lelah maupun jenuh karena ia ikhlas melakukannya.
“Pak Pras, tolong ambilkan gambar!” tiba-tiba seorang gadis berjilbab sudah berdiri di hadapan Pak Pras sambil menyodorkan sebuah tustel. Farida!
Pak Pras terbengong sesaat. Ia ragu untuk menerima tustel itu. Tapi ketika dilihatnya teman-teman Farida berdiri di belakangnya, Pak Pras pun meraih tustel itu sambil tersenyum. Sedangkan teman-teman Farida tampak gembira dengan kesediaan guru muda itu.
“Di taman, Pak!” seru Ratna.
Gadis-gadis itu berlarian ke taman sekolah sambil tertawa-tawa kecil. Pak Pras mengikuti mereka dengan berjalan biasa. Biarlah mereka bersenang-senang, toh ini terakhir mereka berkumpul, batin Pak Pras.
“Oke!” Pak Pras memasang tustel di depan matanya ketika mereka sudah siap berpose. “Sudah?”
“Sudah!”
Pak Pras menurunkan tustel tanpa memencet tombolnya, bersikap seolah-olah ia telah menyelesaikan tugasnya.
“Lho… Pak… kok nggak jadi?” gadis-gadis itu kebingungan. Keki.
“Katanya sudah!” balas Pak Pras sambil tersenyum.
“Maksudnya sudah siap, gitu!” ujar Ratna. Semua merasa geli dengan kelakar guru muda itu.
“Oke. Siap! Satu… dua… ti… ga!” kali ini Pak Pras betul-betul membidikkan tustelnya dan memencet tombolnya. “Sudah, ya!”
Tiba-tiba suara dari pengeras suara memberitahukan bahwa acara wisuda akan segera dimulai. Gadis-gadis itu berlarian meninggalkan Pak Pras, kecuali Farida. Gadis berjilbab itu hanya berjalan biasa. Pak Pras menjajarinya.
“Farida mau kuliah?” Pak Pras mencoba memulai pembicaraan.
“Nggak tahu, Pak. Biayanya nggak ada,” jawab Farida lirih. Inilah pertama kalinya mereka berbincang berdua.
“Atau mungkin mau langsung kerja?”
“Nggak tahu juga. Sepertinya jaman sekarang sulit cari pekerjaan.”
Pak Pras tertawa kecil. “Farida… ng… saya minta maaf ya, kalau saya pernah berbuat salah sama Farida!”
“Ah, Pak Pras nggak punya salah kok sama Farida. Pak Pras baik sekali. Harusnya Farida yang minta maaf sama Pak Pras.’
“Nggak juga. Farida juga baik kok.” Jantung Pak Pras sedikit berdegup. Ia berjalan sambil menatap lantai. Tak dilihatnya wajah gadis di sampingnya yang bersemu merah.
“Farida masuk dulu ya, Pak Pras. Nanti telat.”
“Silakan, Farida.”
Akhirnya Farida masuk ke aula. Pak Pras kembali ke tempatnya semula.
“Farida manis sekali ya, Pak Pras,” goda Bu Neti.
Pak Pras tersenyum malu.
“Bagus lho, kalau dijadikan istri,” Bu Neti bertambah nekat. “Dia gadis yang baik.”
Pak Pras tidak kuasa menjawab. Ia hanya mampu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Pak Pras pun menilai Farida memang gadis yang baik. Sejak ia naik ke Kelas III, ia mulai mengenakan jilbab. Kemudian rajin pula mengikuti kajian di Rohis setelah sebelumnya juga aktif di OSIS. Ah, andai ia bukan muridku, desah hati Pak Pras.

Temanggung, awal September 2007

6 komentar: