Jumat, 03 Juni 2011

Cerpen Islami : GURUKU CANTIK SEKALI (My Beautiful Teacher)

“Pengumuman! Sekali lagi pengumuman!” Budi berteriak lantang.
Suasana kelas yang tadi ribut kini agak tenang. Semua mata tertuju ke depan kelas, ingin tahu apa yang akan disampaikan si Badung.
Listen carefully!” Budi mulai bergaya. “Khusus untuk pelajaran Bahasa Indonesia, semua anak putri harus duduk di belakang!”
“huuu!” anak-anak putri serentak memberikan reaksi. “Enak aja. Mentang-mentang gurunya cantik!”
“Setuju! Setuju!” anak-anak putra bersorak gembira.
“Sekarang… ayo kita laksanakan!” teriak Budi kemudian.
Suasana kelas jadi gaduh. Anak-anak putri betul-betul diusir dari bangkunya. Yang membandel ditarik-tarik atau didorong-dorong. Dan akhirnya anak-anak putri harus rela dengan acara paksa-paksaan itu. Anak-anak putra tersenyum penuh kemenangan.
“Bu Riska datang!” seru Roni yang mengintip keluar lewat jendela.
Mendadak semua jadi tenang. Budi yang terkenal paling badung pun juga berusaha bersikap tenang.
Beberapa saat kemudian seorang wanita berseragam safari masuk. Melangkah dengan anggun menuju meja guru. Rambutnya yang panjang menyentuh pinggang diikat dengan rapi seperti ekor kuda. Semua mata memandang wanita itu dari mulai masuk sampai duduk di kursinya. Lebih-lebih anak putra. Betapa cantiknya Guru Bahasa Indonesia itu.
“Selamat pagi, siswa sekalian!” Bu Riska mulai membuka suara sambil berdiri di depan kelas. Suaranya lembut namun jelas.
“Selamat pagi, Bu!” anak-anak menjawab dengan bersemangat.
Kemudian Bu Riska mulai mengabsen. “Agus Waluyo!”
“Ada, Bu!” Agus berseru keras, sementara tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
“Budi Setyawan!”
“Hadir, Bu!” Budi tidak mau kalah dengan Agus.
Tidak sampai dua menit absensi selesai. Bu Riska mulai mencatat di papan tulis. Anak-anak sibuk menyalin di bukunya masing-masing.
“Ada yang berbaik hati pada ibu untuk mengambilkan kapur?” ujar Riska tiba-tiba.
“Saya, Bu! Saya, Bu!” anak-anak putra berebut mengacungkan jari. Roni yang paling dekat dengan pintu langsung berdiri dan berlari keluar. Budi kalah cepat. Ia yang sudah telanjur berdiri tampak kecewa. Tapi ia tidak kehabisan akal. Ia melangkah ke depan dan meraih penghapus.
“Yang kiri saya hapuskan ya, Bu!” kata Budi.
“Lho, teman-temanmu kan belum selesai menulisnya. Nanti saja ya!” ujar Bu Riska sambil tersenyum.
Budi tampak kecewa. Juga malu. Apalagi teman-temannya tertawa semua. Dengan lesu ia kembali ke bangkunya.
Bu Riska masih termasuk guru baru. Belum genap empat bulan beliau mengajar. Usianya baru dua puluh tiga. Wajahnya cantik sekali. Beliau disukai siswa karena selain cantik juga ramah. Cara mengajarnya enak. Kehadirannya benar-benar menarik seluruh penghuni sekolah itu.
Pelajaran sudah berjalan setengah jam. Kini Bu Riska mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan.
“Coba kamu Reni, buatlah contoh sebuah kalimat homograf!”
“Saya tahu bahwa kamu suka makan tahu,”jawab Reni cepat.
“Bagus! Coba kamu Budi, buatlah contoh kalimat homograf yang lain!”
Budi menggeragap. “Eh… ya… ya… apa, Bu?”
Seisi kelas menertawakan Budi. Bu Riska hanya tersenyum. Duh, manisnya!
“Coba buatlah contoh sebuah kalimat homograf!” Bu Riska tersenyum.
“E… saya tahu bahwa kamu suka makan tahu,” jawab Budi. Seisi kelas kembali tertawa.
“Lho, tadi kan sudah disebut Reni? Coba kalimat yang lain!”
“Maksud saya… maksud saya tahu yang lain, Bu,” Budi menjawab konyol. Tawa dari teman-temannya semakin keras.
Untuk beberapa saat Bu Riska hanya memandang Budi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Budi jadi salah tingkah.
“Ibu perhatikan kamu banyak melamun, Bud,” ujar Bu Riska kemudian. “Kamu sedang jatuh cinta ya?”
Teman-teman Budi rebut memberikan komentar. Budi sendiri hanya menunduk bingung. Bu Riska kok tahu? Batin Budi. Iya, saya sedang jatuh cinta, kata hatinya lagi. saya sedang jatuh cinta pada Ibu. Habis, Bu Riska cantik sekali sich!
“Sekarang kamu berdiri di pojok sana!” perintah Bu Riska. Suaranya lembut namun tegas.
Budi melangkah ke depan. Berhenti di sebelah kanan papan tulis. Segala komentar dari teman-temannya tidak digubrisnya. Ia berdiri menghadap tembok, sehingga teman-temannya tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Budi merasa ikhlas mendapat hukuman dari Bu Riska. Hukuman apapun akan kuterima, demi cintaku pada Bu Riska, bisik hati Budi.
***
Budi menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Pakaian seragam putih abu-abunya masih melekat di tubuhnya. Bahkan sepatunya juga belum dilepasnya. Ia tak peduli. Ia hanya ingin berkhayal tentang Bu Riska. Ah, Bu Riska terlalu cantik, katanya dalam hati. Harusnya Bu Riska jadi bintang film saja. Atau jadi penyanyi. Pasti beliau akan cepat terkenal dan banyak penggemarnya. Ah, jangan! Bantah hatinya yang lain. Bu Riska lebih baik tetap jadi guru. Kalau Bu Riska jadi selebriti, aku tak bisa lagi memandangnya dekat-dekat. Aku tak bisa lagi menikmati jari-jarinya yang lembut menjewer telingaku. Aku juga tak akan bisa lagi menikmati hukuman yang diberikan Bu Riska.
“Budi!” suara ibunya dari balik pintu kamar membuyarkan lamunannya.
“Ya, Bu!” Budi menyahut keras.
“Sudah makan belum?”
“Belum!”
“Ayo makan dulu. Ibu sudah bikinkan sambal tomat kesukaanmu. Habis itu salat Zuhur!”
“Ya Bu, sebentar!” Budi mengeluh dlam hati. Ah, Ibu mengganggu saja. Nggak tahu orang lagi jatuh cinta. Budi kembali tenggelam lagi dalam lamunannya. Oh God, I’m falling in love!
Rupanya Budi benar-benar jatuh cinta habis-habisan. Jatuh cinta pada Bu Riska, guru bahasa Indinesianya. Kali ini ia benar-benar kena batunya. Biasanya ia tidak sepanik dan segelisah itu bila sedang jatuh cinta. Mudah saja ia mengungkapkan perasaannyan pada gadis yang diincarnya. Kalau tidak melalui surat, ia bisa bicara langsung. Diterima syukur, ditolak tidak apa-apa. Tapi kini… ia bingung bagaimana ia harus mengungkapkan perasaannya. Ia merasa malu kalau perasaannya diketahui orang lain. Ternyata si Badung masih punya rasa malu juga. Sedangkan biasanya ia tak pernah peduli meskipun seluruh dunia tahu perasaannya jika ia sedang jatuh cinta. Akhirnya pemuda tanggung itu terlelap. Bermimpi tentang gurunya yang cantik.
***
Budi melangkah dengan ragu-ragu ke ruang guru. Ia berharap tak ada seorang pun di dalamnya. Ini masih jam pelajaran. Ia punya alas an kalau ada guru yang memergikinya. Ia mau mengambil bola di tempat Pak Husein, guru olahraganya.
Ketika ia masuk, hanya ada Bu Sri yang sedang sibuk menulis.
“Permisi, Bu! Mau ambil bola, disuruh Pak Husein,” ujar Budi sopan.
Bu Sri mendongakkan kepalanya. Melihat penampilan si Badung dengan pakaian olahraganya, guru itu tidak berprasangka apa-apa. “Ya, ambil sendiri. Tuh, meja Pak Husein!”
Budi menghampiri meja Pak Husein, sementara Bu Sri kembali sibuk menulis. Kebetulan meja Pak Husein bersebelahan dengan Meja Bu Riska. Itu diketahuinya dari nama-nama guru yang dipasang di atas meja. Sambil mengaduk-aduk tumpukan bola dib el;akang meja Pak Husein, otak Budi memikirkan bagaimana caranya meletakkan surat yang disembunyikannya edi balik kaosnya untuk Bu Riska. Untung juga meja Bu Sri agak jauh dari meja Pak Husein, sehingga beliau tidak mengetahui ketika Budi menyelipkan surat ke dalam buku di atas meja Bu Riska. Semuanya berjalan lancar.
“Sudah ya, Bu. Permisi!” ujar Budi sambil melangkah keluar.
“Ya,” Bu Sri menjawab tanpa melihat ke arah Budi.
Tiba di luar, Budi merasa lega. Thank’s God! ucapnya dalam hati. Sekanjutnya ia tidak peduli apa yang akan terjadi. Ia merasa inilah satu-satunya cara untuk mengungkapkan perasaan dinta yang membelenggu jiwanya. Surat yang ditulisnya semalam menghabiskan berlembar-lembar kertas, karena ia selalu merasa tidak puas setiap menulis satu lembar yang kemudian diremasnya dan dilemparkan ke kolong tempat tidur. Dan akhirnya ia hanya menulis kalimat pendek dengan huruf yang besar-besar :

BU RISKA, SAYA JATUH CINTA PADA IBU. I LOVE YOU SO MUCH.
SAYA INGIN MENJADI KEKASIH BU RISKA.
TTD.
BUDI SETYAWAN
Budi benar-benar gila!
***
Masih tiga hari lagi jadwal Bu Riska mengajar di kelas Budi. Selama waktu itu Budi selalu menghindari bertemu dengan Bu Riska. Ia merasa malu bertemu dengan gurunya yang cantik itu.
Sekarang jam pelajaran bahasa Indonesia. Seperti bisanya anak-anak putra melakukan pendudukan di deretan depan. Tapi Budi tidak berniat pindah dari bangkunya di belakang. Baginya ini adalah saat-saat yang menegangkan.
“Tumben kamu nggak pindah, Bud?” Reni iseng bertanya.
“Nggak. Lgi pengin deket kamu,” Budi menjawab asal.
Mendadak kelas jadi tenang. Bu Riska melangkah masuk. Tapi semuanya menjadi terbengong. Lebih-lebih anak putra. Betulkah itu Bu Riska? Mengapa kini penampilannya lain? Ke mana rambutnya yang panjang sepinggang? Tapi guru itu memang betul-betul Bu Riska. Guru yang cantik sekali. Kini tetap melangkah tenang ke meja guru. Gayanya tampak lebih anggun. Wajahnya tetap cantik dan mudah tersenyum. Yang berubah hanya pakaiannya. Bu Riska kini berjilbab!
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh!” seru Bu Riska memecah keheningan. Tetap dengan suara lembut.
Siswa-siswa menjawab agak ragu. Mungkin belum yakin kalau guru cantik di depan kelas itu Bu Riska. Biasanya beliau membuka salam dengan ‘selamat pagi’.
“Ada yang anek, siswa sekalian?” kata Bu Riska. Beliau sadar jika penampilannya sekarang mengejutkan siswa.
“Tidak, Bu. Hanya kalau kami boleh tahu, mengapa sekarang Bu Riska memakai jilbab?” Rahardian, si Ketua Kelas yang bicara.
“Ibu wajib bersyukur kepada Allah yang telah memberikan hidayah-Nya kepada Ibu. Ibu telah menemukan kehidupan yang hakiki sebagai seorang wanita. Dan ternyata wanita itu wajib menutupi tubuhnya dengan jilbab. Wsebelumnya Ibu berpikir, bahwa jilbab hanya akan menghambat gerak wanita. Tapi setelah Ibu mengkajinya, ternyata jilbab itu sendiri memberikan perlindungan dan meningkatkan derajat wanita. Apalagi di hadapan Allah. Cobalah kalian siswi-siswi yang belum berjilbab, kajilah Islam dengan sungguh-sungguh. Ibu doakan kalian akan diberi hidayah oleh Allah subhanaahu wa Ta’ala.”
Selanjutnya pelajaran berlangsung seperti biasa. Budi merasa legabegitu sirine tanda palajaran berakhir meraung-raung. Bu Riska tidak menyinggung sedikit pun tentang suratnya. Tapi Budi jadi berpikir, apakah Bu Riska belum membaca suratnya?
***
Apapun yang dilakukan seorang wanita cantik selalu menarik perhatian. Begitupun dengan Bu Riska, guru yang cantik itu. Penampilan Bu Riska yang sekarang berjilbab sungguh telah membuat heboh seluruh penghuni sekolah. Terutama siswa putra. Budi apalagi. Tapi semua mengakui, dengan jilbabnya Bu Riska tampak lebih anggun dan berwibawa. Kadang-kadang Bu Riska tanpa malu-malu mengikuti kajian bersama para siswa di Rohis.
Penampilan Bu Riska ternyata juga menimbulkan dampak yang positif. Beberapa siswi mulai mengikuti jejaknya, bergabung dengan Rohis. Bahkan sudah ada yang mulai berjilbab. Mungkin mereka berpikir, orang secantik dan sepintar Bu Riska saja mau berjilbab, mengapa mereka tidak?
Dan hari ini sekolah bertambah heboh. Pasalnya ada kabar yang menyebar dengan cepat bahwa Bu Riska mau menikah. Anak-anak putra tampaknya banyak yang kecewa. Apalagi Budi. Hatinya hancur. Semangatnya seraya melayang. Tapi ia masih berharap kabar itu tidak benar. Selama ini ia hanya menunggu dengan gelisah karena Bu Riska tidak pernah menyinggung sama sekali tentang suratnya. Tapi kini…
Lalu hari ini juga Bu Riska mengajar di kelas Budi. Anak-anak hanya disuruh membuat karangan. Namun Budi hanya bisa memandang halaman bukunya yang masih kosong. Sehuruf pun belum ada yang ditulisnya. Otaknya yang biasanya cukup encer kini benar-benar tak mau diajak kompromi. Buntu.
“Waku habis. Semua pekerjaan harap dikumpulkan di meja Ibu!” ujar Bu Riska memecah keheningan kelas.
“Wah, belum selesai, Bu!” beberapa anak berkata serempak.
“Kumpulkan sejadinya!”
Suasana kelas agak gaduh. Anak-anak mengumpulkan bukunya di meja guru. Budi pun dengan malas mengumpulkan hasil pekerjaannya. Halaman bukunya tetap kosong tanpa goresan sehuruf pun.
Kemudian Bu Riska berdiri di depan kelas.
“Mohon perhatian, siswa sekalian!” Bu Riska mulai bicara. “Insya Allah hari ini adalah hari terakhir Ibu mengajardi sini.”
Anak-anak terdiam sambil memandang ke arah Bu Riska yang cantik. Beberapa anak mengguman. Dada Budi berdebar-debar.
“Kenapa, Bu?”kata Rahardian kemudian.
“Insya Allah Ibu akan segera menikah.”
Wajah anak-anak putra menampakkan kekecewaan. Apalagi Budi. Dadanya kian bergemuruh. Jadi, kabar yang tersiar memang benar.
“Karena calon suami Ibu bekerja di Jakarta, maka mau tidak mau ibu harus ikut ke Jakarta setelah menikah. Dan sebagai kata perpisahan dari Ibu, Ibu mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian apabila ada kesalahan maupun kekeliruan yang Ibu lakukan selama mengajar di kelas ini. Perlu juga kalian ketahui, bahwa ibu menyayangi kalian. Sedikit banyak Ibu telah mendapatkan palajaran yang berharga dari kalian meskipun tanpa kalian sadari. Dan pesan Ibu yang terakhir, belajarlah yang rajin. Jangan lupa selalu tingkatkan iman dan takwa kepada Allah. Ibu akhiri, wassalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh.”
Anak-anak menjawab serempak. Budi menatap kosong.
“Budi!”
Budi terkesiap namanya disebut Bu Riska.
“Tolong bawakan buku-buku ini ke kantor guru!”
Budi menghembuskan napas. Lega. Tadinya ia mengira Bu Riska mau menyinggung soal suratnya. Lalu ia segera mengikuti Bu Riska setelah mengambil buku-buku siswa di meja guru.
Ketika Budi memasuki kantor guru, ia tidak melihat seorang pun di dalamnya selain Bu Riska.
“Letakkan di situ, Bud!” kata Bu Riska sambil menunjuk mejanya. “Dan kamu duduk sebentar. Ada yang ingin Ibu sampaikan!”
Deg! Jantung Budi berdetak keras. Pelan-pelan ia duduk di kursi di depan meja Bu Riska.
“Ibu sudah membaca surat kamu,”ujar Bu Riska kemudian.
Budi merasakan wajahnya panas. Ia menunduk. Rasa malu menyergap dirinya. Ingin rasanya ia berlari saja dari hadapan gurunya. Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu. Kerongkongannya terasa tersumbat. Belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Ia merasa Bu Riska tampak semakin agung. Dan ia merasa kecil sekali di hadapan Bu Riska.
“Ibu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan perasaan kamu terhadap Ibu,” Bu Riska kembali membuka suara setelah agak lama Budi tak juga berkata. “Sayangnya Ibu harus segera menikah. Sedangkan kamu masih terlalu muda. Rasanya belum pantas untuk punya istri. Tapi kata orang, cinta itu tidak harus memiliki. Kamu boleh tetap mencintai Ibu karena itu hak kamu.”
Budi memberanikan diri mendongakkan kepalanya. Dilihatnya Bu Riska tersenyum manis. Senyum tulus. Berangsur-angsur perasaan Budi menjadi tenang melihat senyum Bu Riska. Sebelumnya ia takut Bu Riskan akan marah kepadanya.
“Tapi sebetulnya ada yang lebih patut kamu cintai. Yaitu cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Kelak kamu akan mengerti. Ibu hanya berharap kamu berubah menjadi baik. Semua guru mengatakan kamu bandel. Maukah kamu berjanji menjadi anak yang baik?”
Budi hanya mampu mengangguk. Tapi itu sudah cukup.
“Terima kasih. Jika kamu memang laki-lakisejati, pegang erat janjimu. Nah, sebagai kenang-kenangan buat kamu, ibu berikan buku ini kepadamu.”
Budi menerima buku kecil yang disodorkan Bu Riska.
“Sudah ya, Ibu masih banyak pekerjaan!” ujar Bu Riska kemudian sambil tersenyum.
“Maafkan saya, Bu!” kata Budi akhirnya. Ia lega bisa mengucapkan kalimat itu.
Bu Riska hanya tersenyum.
Budi berdiri. “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.”
Budi keluar dari kantor guru dengan perasaan lega. Ah, betapa bijaksananya Bu Riska, batinnya. Beliau tidak mau mempermalukannya di depan teman-temannya. Kemudian dibacanya judul buku yang eiberikan oleh Bu Riska, ‘MENGGAPAI CINTA HAKIKI’ (Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya).
Temanggung, September 2001
(Pernah dimuat di Majalah ANNIDA edisi Nomor 09/XI/30 Januari 2002)

1 komentar: