Jumat, 30 September 2011

Cerpen : HADIAH BUAT PAK GURU

            “Ssst… Pak Darto,” bisik Silvi.
            Keempat temannya langsung merendahkan tubuhnya, berlindung di balik semak-semak. Di kejauhan tampak Pak Darto sedang berjalan agak cepat menuju WC Guru. Silvi cs mengintai dengan senyum menyeringai.
      Byur! Klontang! Suara guyuran air dan ember jatuh terdengar dari tempat anak-anak bandel itu mengintai begitu Pak Darto masuk WC. Silvi cs cekikikan. Bahkan Faisal sampai memegangi perutnya dan Fina berurai air mata karena merasa geli sekali. Bagi mereka, ‘kecelakaan’ yang menimpa Pak Darto merupakan hal yang sangat lucu. Mereka memang yang memasang jebakan itu. WC Guru yang tidak pernah dikunci memudahkan rencana mereka. Mereka meletakkan seember air penuh di atas daun pintu WC Guru yang dibuka sedikit, sehingga siapa saja yang membuka pintu itu secara otomatis ember yang berada di atas pintu akan terjatuh. Dan hasilnya bisa dibayangkan.
            Beberapa saat kemudian tampak Pak Darto keluar dari WC. Guru yang sudah mulai tampak tua itu basah kuyup, mulai dari kepala sampai pakaiannya. Sungguh menggenaskan. Tapi bagi Silvi cs hal itu sangat menggembirakan. Mereka tertawa puas melihat hasil kerjanya sesuai dengan yang mereka rencanakan.
            Silvi, Faisal, Fina, Egy, dan Anjar adalah anak-anak yang sering membuat onar. Meskipun mereka sudah kelas 3, namun mereka tetap tidak mau mengubah kebiasaan buruk mereka. Mereka tidak hanya ngerjain sesama teman di luar kelompok mereka, tetapi juga terhadap guru. Mereka sudah menjadi langganan menghadap Guru BP. Namun sepertinya tak ada seorang pun yang bisa menasihati mereka. Bagi mereka, tiada hari tanpa membuat ulah.
***
            Semua merasa terkejut dan heran ketika Pak Darto memasuki kelas dengan pakaian basah. Tapi Silvi cs hanya saling memandang dan mesam-mesem.
            “Assalamu'alaikum warahmatulaahi wabarakatuh!” sapa Pak Darto setelah meletakkan buku-bukunya di atas meja.
            Para siswa menjawab serempak, meskipun ada yang suaranya dibuat-buat.
            “Anak-anak, Bapak minta maaf karena terpaksa mengajar dengan pakaian basah,” ucap Pak Darto.
            “Kenapa, Pak?” beberapa anak bersuara serempak.
            “Kebetulan tadi ada yang iseng-iseng sama Bapak,” jawab Pak Darto sambil tersenyum. “Bapak tidak apa-apa. Bapak hanya bisa mendoakan semoga mereka diberi hidayah oleh Allah sehingga mereka akan menyadari kesalahannya. Dan keadaan Bapak yang seperti ini semoga tidak memengaruhi semangat kalian untuk tetap belajar dengan baik.”
            Selanjutnya pelajaran berjalan seperti biasa. Silvi cs saling melirik dan tersenyum simpul. Tapi dalam hati mereka mengagumi kesabaran guru agama itu.
***
            Silvi cs berjalan ke tempat parkir, bermaksud mengambil sepeda motor mereka. Kebetulan Pak Darto baru saja keluar dari tempat parkir menuntun sepeda ontelnya. Rupanya ban belakang sepedanya kempes. Barangkali karena sengaja dikempeskan oleh siswa sebab hal seperti itu sudah sering terjadi.
            “Lihat tuh hasil kerja kamu,” bisik Silvi pada Faisal sambil tersenyum.
            Faisal, Fina, Egy, dan Anjar hanya tertawa kecil melihat keadaan Pak Darto. Dan tanpa disadari oleh Pak Darto, ada sesuatu yang jatuh melayang dari saku belakang celananya ketika beliau mengambil kunci sepeda..
            “Eh, ada yang jatuh,” kata Anjar lirih.
            “Biar aku yang ambil,” ucap Faisal. Lalu dengan langkah yang dibuat sewajar mungkin ia mendekati benda milik Pak Darto yang terjatuh, sementara Pak Darto tetap berjalan menuntun sepedanya pelan-pelan. Dan dengan cepat Faisal memungut benda itu yang langsung dimasukkannya ke dalam saku celananya. Kemudian dengan terburu-buru ia bergerak mendekati teman-temannya sambil tersenyum.
            “Apa, Sal?” tanya Anjar penasaran.
            “Cuma kertas. Tapi belum kubuka,” sahut Faisal sambil mengeluarkan benda yang tadi diambilnya.
            “Cepat buka, Sal!” kata Fina tidak sabar.
            Faisal membuka kertas yang terlipat itu dengan hati-hati. Keempat temannya yang mengerumuninya merasa tidak sabar. Begitu kertas sudah dibuka, dengan cepat Faisal membaca tulisan yang terbesar.  “Slip gaji Pak Darto,” ucapnya lirih.
            Mereka tampak tersenyum. Entah tersenyum senang atau tersenyum licik. Kemudian dengan teliti mereka membaca tulisan di atas kertas itu.
***
            Pak Darto menyandarkan sepedanya di pohon jambu biji depan rumahnya yang sederhana. Ketika ia memasuki rumahnya, tampak istrinya sedang membungkusi ceriping ketela dengan plastik untuk dijual. “Assalamu'alaikum!”
            “Wa’alaikum salam. Sudah gajian ya, Pak?” sahut istrinya.
            “Sudah, Bu,” sahut Pak Darto sambil mengambil uang di dalam tasnya. “Ini!”
            Wanita itu menerima uang yang diulurkan suaminya. Lalu dihitungnya sebentar. “Kok Cuma seratus empat puluh lima, Pak?”
            “Ada potongan lima ribu untuk iuran, karena ada teman yang menikah minggu lalu,” sahut Pak Darto sambil memasukkan tangannya ke saku belakang celananya, bermaksud mengambil slip gajinya. Tapi ia kebingungan karena saku celananya kosong. Ia tak menemukan selembar kertas yang dicarinya. Ah, mungkin terjatuh di jalan, batinnya.
            “Ya sudah. Sana Bapak makan dulu. Setelah sholat, nanti antarkan dagangan ini ke warung Bu Erni dan Bu Nunung!”
            Pak Darto makan dengan lahap meskipun hanya dengan sayur daun ketela, tempe goreng, dan sambal tomat. Pekerjaan sebagai guru swasta tidak memungkinkan ia makan dengan lauk yang mewah. Gaji Rp150.000,00 setiap bulan sungguh tidak cukup untuk biaya hidupnya. Apalagi ia punya istri dan dua orang anak. Beruntung ia memiliki istri yang pandai mencari uang tambahan meskipun hanya dengan berdagang kecil-kecilan. Ia juga merasa bersyukur karena ia masih bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
***
            Pagi ini Pak Darto kembali mengajar. Tapi sungguh ia merasa heran sekaligus senang melihat sikap para siswa yang telah berubah drastis. Suasana belajar benar-benar telah berubah menjadi nyaman. Semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan tekun, termasuk Silvi cs yang biasanya paling ramai dan selalu membuat ulah.
            “Ada yang sudah hapal surat Albayyinah?” tanya Pak Darto.
            “Saya, Pak… saya, Pak!” beberapa anak mengacungkan jari.
            “Coba kamu, Faisal!” kata Pak Darto sambil menunjuk Faisal yang ikut mengacungkan jari, ingin tahu apakah anak bandel itu benar-benar serius telah berubah.
            Ternyata Faisal bisa melafalkan surat Albayyinah dengan lancar. Pak Darto tersenyum puas. Hatinya diam-diam terharu.
            “Sekarang coba kamu, Silvi!” kata Pak Darto lagi.
           

Senin, 12 September 2011

Awas, Khong Guan Palsu!!!

Fenomena perayaan Idul Fitri (Lebaran) memang sangat menarik. Semua warga muslim, terutama di desa-desa, seperti berlomba-lomba membuat makanan/kue untuk disajikan di meja tamu. Kalau tidak bisa membuat sendiri, mereka akan membeli di toko-toko maupun di home industry, sehingga meja tamu akan penuh dengan aneka kue.
Namun jika kita bersilaturrohim ke kampung/desa, kita harus siap-siap kecewa. Kita akan banyak mendapati biskuit kalengan merk terkenal, seperti Khong Guan, Oreo, Nissin, dan masih banyak lagi disajikan di atas meja. Tapi ketika kita membuka tutupnya, ternyata isinya bisa rengginang, ceriping pisang, ceriping ketela, rempeyek, atau makanan tradisional yang lain. Orang-orang itu mungkin hanya memanfaatkan kaleng bekas biskuit tanpa bermaksud untuk memalsukan isinya karena tidak punya wadah yang lain. Alhasil, banyak tamu yang kecewa sekaligus geli karena mengira ia akan mendapatkan biskuit Khong Guan yang lezat, tapi yang didapatnya ternyata rengginang alias biskuit 'palsu'.