Minggu, 26 Juni 2011

Poetry : AKHIR SEBUAH PERJALANAN

Langkahmu tiada berjejak
sehingga anganku terhenyak
sedang hatiku jadi terkoyak

lalu bayangmu jatuh
anganku jadi runtuh
jiwaku terpuruk

dan langkahku kian gontai
terseret dan tersaruk dalam sepi
tak ada lagi yang mesti kutapaki
sebab jalanku sudah mati
semua terhenti
di sini
...
(Pernah dimuat di tabloid lokal "LONTAR", tapi nomornya lupa)

Kamis, 09 Juni 2011

Cerpen Islami : K E M E N A N G A N

                Secepat kilat Totok memburu bola yang diumpankan Rizal. Si kulit bundar diterima dengan baik. Lalu Totok menggiringnya dengan lincah. Melewati dua pemain lawan. Satu pemain belakang siap menghadang. Totok berpikir dengan cepat. Bola ditendangnya ke arah Rizal yang berlari tanpa kawalan lawan. Bola menggelinding dalam jarak dua meter di depan Rizal. Rizal mengejar dengan sekuat tenaga, berlomba dengan penjaga gawang lawan. Rizal lebih beruntung. Ia lebih dulu menyentuh bola. Bahkan ia berhasil mengecoh keeper yang sekarang terguling di atas rumput karena menubruk tempat kosong. Dengan manis Rizal menendang si kulit bundar ke arah gawang yang tanpa penjaga. Dan … goal!
                Penonton bersorak sorai. Rizal dan Totok saling berpelukan dengan gembira. Detik berikutnya teman-temannya berdatangan memeluk. Semua larut dalam kegembiraan. Sedangkan tim lawan tampak tertunduk lesu.
                Satu menit kemudian peluit panjang dibunyikan wasit. Pertandingan berakhir. Totok dan kawan-kawannya berteriak lega. Satu-satunya goal yang diciptakan Rizal membawa timnya maju ke babak final.
***
                Malam harinya diadakan rapat. Totok yang menjadi ketua yang memimpin jalannya rapat. Semua pengurus diundang.
              “Bagaimana rekan Agus, ada ide untuk pertandingan final nanti?” kata Totok sambil memandang Agus yang menjadi Seksi Teknik.
                “Saya kira formasinya seperti tadi sore saja. Sepertinya itu formasi yang paling bagus untuk tim kita,” sahut Agus mantap.
                “Lalu bagaimana dengan kekuatan lawan yang akan kita hadapi?”
                “Sepertinya biasa-biasa saja. Bahkan menurut pengamatan saya, permainannya masih lebih bagus lawan kita tadi sore. Hanya … sepertinya ada yang aneh.” Agus berhenti sejenak, ingin tahu reaksi teman-temannya.
                “Aneh bagaimana?” Totok tampak tidak sabar.
                “Mungkin mereka pakai dukun,” kata Agus lirih, ragu-ragu.
                Semua mata tertuju pada Agus.
                “Iya!” tiba-tiba Hartono menyela. “Saya juga melihat seorang tua bersila di bawah pohon palem menghadap ke lapangan. Mulutnya selalu komat-kamit.”
                “Saya juga melihat keanehan beberapa kali,” kata Agus lagi. “Ketika lawan menendang bola lurus ke arah gawang, tiba-tiba bola itu melenceng ke samping gawang, padahal sudah jelas-jelas bola itu menggelinding lurus dan keeper sudah jauh dari gawang. Hal seperti itu terjadi beberapa kali. Saya kira penonton juga merasa heran dengan kejadian seperti itu.”
                Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti membenarkan uraian Agus.
                “Satu hal lagi,” Udin ikut bicara. “Ketika pertandingan belum dimulai, ada salah seorang yang memercikkan air dari kendi di bawah gawang.”
                Untuk beberapa saat semua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
                “Sakarang bagaimana?” Totok memecah kesunyian. “Ini masalah baru buat kita. Ini bukan masalah teknis, tapi bagaimana kita harus bisa mengalahkan dukun itu.”
                “Bagaimana kalau kita juga pakai dukun yang lebih sakti?” Bardi mengajukan usul.
                “Huuu!” serempak beberapa orang memebrikan reaksi. Bardi nyengir.
                Totok hanya tersenyum. Ia yang juga ketua remaja masjid tentu saja tidak mau dengan cara dukun-dukunan. Semuanya harus dilakukan dengan sportif. “Bagaimana, Pak Rohadi? Mungkin ada masukan?”
                Pak Rohadi yang menjadi penasehat klub mendehem dua kali sebelum bicara. “Kalau saya ada ide sedikit. Boleh diterima dan juga boleh ditolak. Sebaiknya kita membagi tugas.” Kemudian Pak Rohadi membeberkan rencananya. Semuanya tampak mengangguk-angguk tanda setuju.
                Rapat dibubarkan pukul 21.30. Wajah-wajah mereka tampak cerah penuh harapan. Masih ada waktu dua hari untuk persiapan pertandingan final.

Senin, 06 Juni 2011

Cerpen Islami : INDAHNYA KASIH SAYANG

                “Ayo, Falia. Mau ngaji nggak?” kataku sambil tersenyum.
                “Sebentar, Pak. Dina saja dulu,” sahut gadis manis itu sambil tersenyum juga. Agak tersipu.
           Ah, gadis ini tampak aneh belakangan ini. Selalu minta giliran terakhir, meskipun datangnya lebih awal daripada teman-temannya. Dina segera menyerahkan katu Qiroatil Quran-nya kepadaku dan membuka Al-Quran-nya. Kemudian aku mulai menyimak bacaan gadis kecil itu.
             Sekarang tiba giliran Falia. Kuraih Al-Quran yang tadi dibaca Dina. Kucocokkan halaman dengan Al-Quran yang akan dibaca gadis itu. Setelah cocok, Falia mulai membaca dan aku menyimak dengan seksama. Memang berbeda caraku menyimak santri membaca Al-Quran. Kalau yang masih kecil seperti Dina, aku langsung melihat Al-Quran yang dibaca santri. Tapi untuk santri putri yang sudah baligh, aku menyimaknya dengan membuka Al-Quran sendiri, sedangkan santri juga membuka Al-Quran sendiri dan duduknya agak jauh dariku.
            “Dina, cepetan keluar!” kudengar suara santri dari balik pintu ruang TPQ, agak berbisik, namun terdengar jelas di telingaku. Dina tampak agak ragu. Tapi sepertinya teman-temannya menyuruhnya agar ia segera keluar. Bahkan beberapa santri yang masih ada di dalam diwsuruh keluar semua. Dan kini tinggal aku berdua dengan Falia. Lalu kudengar bisik-bisik di luar dari santri-santri. Aku merasa tidak enak. Kulirik ke luar pintu. Tampak mereka sedang berbisik-bisik sambil melirikku. Aku terkesiap. Tiba-tiba wajahku terasa panas. Ya Allah, apa yang sedang terjadi?
           Aku baru sadar jika mereka memang membiarkan aku berdua dengan Falia. Sudah tiga hari keadaan seperti ini. Mulanya aku tidak begitu peduli dengan godaan beberapa santri putri yang sudah remaja tentang aku dan Falia. Tapi kini… tiba-tiba hatiku jadi panik. Keadaan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam otakku.
                Aku batasi hanya satu ruku’ saja untuk Falia sore ini. Gadis itu tampak tidak puas. Aku tidak peduli. Aku langsung berdiri, sementara gadis itu menutup Al-Qurannya.
                “Masuk!” aku berteriak.
                Santri-santri yang sedang asyik bermain-main segera berlarian masuk. Gaduh sekali.
                “Satu!”aku mulai menghitung.
                “Kaa-kii-nyaa!” semua santri menjawab serempak. Ini artinya kaki tidak boleh bergerak lagi dan duduk dengan rapi.
                “Dua!”
                “Taa-ngaan-nyaa!” ini berarti tangan tidak boleh usil.
                “Tiga!”
                “Kee-paa-laa-nyaa!” kalau yang ini artinya santri harus merapikan peci atau jilbabnya.
                “Empat!”
                “Suu-daah sii-aap!”
          Santri-santri tampak duduk dengan tenang sambil memandangku. Nah, begini kan bagus! Tapi mungkin mereka sekarang tampak heran melihat ekspresi wajahku yang ‘tampak sadis’.
            “Kalian yang sudah remaja, sekarang kok mulai nganeh-anehi?” kataku datar. Nyaris tanpa ekspresi. Tapi kurasa lebih cenderung ke nada marah.
                Kulihat santri-santri putri yang sudah remaja menundukkan kepala, termasuk Falia. Mungkin juga mereka baru tahu kalau ternyata aku juga bisa marah. Biasanya aku selalu penuh senyum dan berbicara sopan. Tapi sore ini? Aku hanya diam dengan tampang angker sambil memandangi mereka. Suasana jadi hening.
                “Berdoa!” seruku kemudian.
            “Allohumma arinal haqqo haqqo…” Semua berdoa bersama. Setelah ditutup dengan salawat tiga kali, mereka berdiri dan menjabat tanganku sambil berjalan keluar, kecuali santri-santri putri yang sudah remaja. Mereka memang tak kuizinkan berjabatan tangan denganku. Selain karena memang hukum agama yang mengharuskan demikian, juga sekedar upayaku agar aku tidak berbuat kurang ajar terhadap santri putri. Aku sudah menganggap mereka adik-adikku sendiri. Aku menghormati dan menyayangi mereka.
            Kupandangi mereka meninggalkan masjid. Santri-santri yang masih anak-anak berjalan pulang sambil bercanda. Tapi santri putri yang sudah remaja berjalan dengan diam. Hanyha kadang-kadang kulihat mereka saling berbisik. Falia yang berjalan sendirian di belakang tampak menunduk sambil mendekap Al-Quran di dadanya. Maafkan saya, gadis! kataku dalam hati.

Sabtu, 04 Juni 2011

Cerpen Islami : SELAMAT JALAN SAHABAT

Aku keluar dari loket. Sungguh antrean yang melelahkan. Tubuhku basah oleh keringat. Segera kulangkahkan kakiku mendekati santri-santriku yang sudah lama menunggu. Kulambaikan tujuh lembar tiket sambil tersenyum begitu melihat mereka.
“Dapat, Pak?” tanya Antik.
“Dapat. Ini. Ayo kita masuk!”
Ternyata hampir semua bangku sudah terisi. Penonton yang sebagian besar anak-anak tampak memenuhi GOR. Mataku mencari-cari tempat yang masih kosong. Itu dia! Ada tempat yang masih cukup untuk kami bertujuh. Segera kubawa keenam santriku ke sana. Lima bangku kosong di depan dan tiga di belakangnya. Nurul, Antik, Diana, Putri, dan Dewi menempati bangku di depan. Sedangkan aku dan Rizal di belakang. Satu bangku kami biarkan kosong.
Udara terasa panas. Aku merasa haus. “Siapa yang bawa permen?”
“Saya, Pak,” Putri yang menjawab. Kemudian gadis kecil itu menyodorkan segenggam permen.
Aku mengambil satu. Rizal ikut-ikutan.
“Mau aqua, Pak?” Diana menawarkan.
Aku tersenyum malu. Aku lupa membawa minuman. “Boleh.”
Kurasa hari ini santri-santriku bersikap baik. Tidak seperti biasanya kalau sedang mengaji. Bandel-bandel. Apalagi Diana. Si Badung ini lebih sering membuatku pusing. Tapi alhamdulillah aku berhasil membujuk mereka untuk menonton pertunjukan ini.
Tiba-tiba mataku menangkap sesosok laki-laki kekar. Preman nyasar? Laki-laki itu bercelana jeans dan berkaos hitam. Kedua lengannya yang tidak tertutup menampakkan tatto sampai ke pergelangan tangan. Wajahnya hitam dan kasar, lengkap dengan rambut gondrongnya yang tampak kusut. Benar-benar sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Mau apa orang itu ke sini? Tampaknya ia sedang mencari-cari bangku kosong. Dan celakanya sekarang orang itu melangkah ke arahku. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Kosong, Dik?” ujar laki-laki itu sambil menunjuk bangku di sebelah Rizal.
“I…iya,” sahutku agak tergagap. “Zal, geser ke sana!”
Rizal menggeser tubuhnya. Aku juga bergeser. Laki-laki itu kemudian duduk di bangku yang tadi kududuki. Perasaanku semakin tidak enak. Santri-santriku menjadi terdiam. Mungkin takut terhadap laki-laki itu.
“Rokok?” tiba-tiba laki-laki itu menawarkan rokok kepadaku.
“Terima kasih. Saya tidak merokok,” tolakku lembut.
Laki-laki itu kemudian menyalakan rokoknya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Mau menegur tidak berani. Sedangkan laki-laki itu merokok dengan santainya.
Beberapa saat kemudian pertunjukan dimulai. Tidak ada acara selingan maupun pertunjukan awal. Ini yang disukai penonton. Bintang utama langsung keluar. Haddad Alwi dan Sulis, bintang yang sedang tenar saat ini, tampak berjalan dengan tenang ke tengah panggung, diikuti oleh para pengiringnya. Sambutan penonton meriah luar biasa. Tapi santri-santriku tampaknya tidak ikut bertepuk sorak. Kurasa kehadiran makhluk asing di sebelahku ini yang mengganggu suasana. Namun aku juga merasa heran. Laki-laki itu tampak gelisah. Beberapa kali ia menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Bahkan kemudian rokoknya dilempar ke lantai dan diinjaknya dengan sepatunya yang lusuh. Lalu dia memandang lepas ke panggung.
Setelah berdialog sebentar dengan penonton, kedua bintang itu mulai melantunkan salawat. Sungguh suara yang merdu dan indah. Aku terkejut ketika telingaku menangkap suara nafas berat dari sebelahku. Ketika kulirik, aku menjadi terperangah. Laki-laki bertato itu menangis. Benar-benar kulihat air mata mengalir membasahi pipinya yang hitam.
“Mas, kenapa menangis?” tanyaku lirih dan hati-hati.
“Anak itu membuatku terenyuh,” jawab lakli-laki itu sambil menghapus air mata dengan jari-jari tangannya.
“Anak itu memang beruntung. Dia benar-benar mendapatkan berkah shalawat,” ujarku.
“Setiap kali aku mendengar anak itu menyanyi, aku selalu menangis. Seakan-akan ia diciptakan Gusti Allah untuk memperingatkan aku dengan semua dosa-dosaku.”
Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Kubiarkan saja laki-laki itu sibuk dengan perasaannya sendiri, sementara mataku memandang ke arah panggung.
“Dik…!”
Aku terkejut laki-laki itu memanggilku. “Ya?”
“Apa Gusti Allah mau mengampuni aku, kalau aku mau bertobat?”
Aku terperangah, tak menyangka sama sekali laki-laki itu akan berkata demikian. “Allah itu Maha Pengampun, Mas. Dan ampunan Allah itu lebih besar daripada dosa-dosa manusia. Asal Mas bersungguh-sungguh mau bertobat, pasti Allah akan memberikan ampunan sama Mas.”
Laki-laki itu memandangku. Mungkin mencari kebenaran kata-kataku.
“Saya Aminudin.” Kuulurkan tangan kananku sambil tersenyum, mencoba menawarkan persahabatan.
Laki-laki itu tampak ragu-ragu. Namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan kanannya. Lalu kurasakan jabatan tangannya yang kuat.
“Joko. Namaku Joko.” Kulihat air matanya kembali mengalir. “Tolong saksikan, mulai sekarang aku bertobat kepada Gusti Allah!”
Aku mengangguk. Lalu aku mencoba memeluknya. Laki-laki itu malah membalas memelukku lebih kuat. Untuk beberapa saat kami saling berpelukan. Tak kami hiraukan berpasang-pasang mata memandangi kami, termasuk santri-santriku yang terbengong menyaksikan ustadznya sedang berpelukan dengan seorang preman.

Jumat, 03 Juni 2011

Cerpen Islami : GURUKU CANTIK SEKALI (My Beautiful Teacher)

“Pengumuman! Sekali lagi pengumuman!” Budi berteriak lantang.
Suasana kelas yang tadi ribut kini agak tenang. Semua mata tertuju ke depan kelas, ingin tahu apa yang akan disampaikan si Badung.
Listen carefully!” Budi mulai bergaya. “Khusus untuk pelajaran Bahasa Indonesia, semua anak putri harus duduk di belakang!”
“huuu!” anak-anak putri serentak memberikan reaksi. “Enak aja. Mentang-mentang gurunya cantik!”
“Setuju! Setuju!” anak-anak putra bersorak gembira.
“Sekarang… ayo kita laksanakan!” teriak Budi kemudian.
Suasana kelas jadi gaduh. Anak-anak putri betul-betul diusir dari bangkunya. Yang membandel ditarik-tarik atau didorong-dorong. Dan akhirnya anak-anak putri harus rela dengan acara paksa-paksaan itu. Anak-anak putra tersenyum penuh kemenangan.
“Bu Riska datang!” seru Roni yang mengintip keluar lewat jendela.
Mendadak semua jadi tenang. Budi yang terkenal paling badung pun juga berusaha bersikap tenang.
Beberapa saat kemudian seorang wanita berseragam safari masuk. Melangkah dengan anggun menuju meja guru. Rambutnya yang panjang menyentuh pinggang diikat dengan rapi seperti ekor kuda. Semua mata memandang wanita itu dari mulai masuk sampai duduk di kursinya. Lebih-lebih anak putra. Betapa cantiknya Guru Bahasa Indonesia itu.
“Selamat pagi, siswa sekalian!” Bu Riska mulai membuka suara sambil berdiri di depan kelas. Suaranya lembut namun jelas.
“Selamat pagi, Bu!” anak-anak menjawab dengan bersemangat.
Kemudian Bu Riska mulai mengabsen. “Agus Waluyo!”
“Ada, Bu!” Agus berseru keras, sementara tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
“Budi Setyawan!”
“Hadir, Bu!” Budi tidak mau kalah dengan Agus.
Tidak sampai dua menit absensi selesai. Bu Riska mulai mencatat di papan tulis. Anak-anak sibuk menyalin di bukunya masing-masing.
“Ada yang berbaik hati pada ibu untuk mengambilkan kapur?” ujar Riska tiba-tiba.
“Saya, Bu! Saya, Bu!” anak-anak putra berebut mengacungkan jari. Roni yang paling dekat dengan pintu langsung berdiri dan berlari keluar. Budi kalah cepat. Ia yang sudah telanjur berdiri tampak kecewa. Tapi ia tidak kehabisan akal. Ia melangkah ke depan dan meraih penghapus.
“Yang kiri saya hapuskan ya, Bu!” kata Budi.
“Lho, teman-temanmu kan belum selesai menulisnya. Nanti saja ya!” ujar Bu Riska sambil tersenyum.
Budi tampak kecewa. Juga malu. Apalagi teman-temannya tertawa semua. Dengan lesu ia kembali ke bangkunya.
Bu Riska masih termasuk guru baru. Belum genap empat bulan beliau mengajar. Usianya baru dua puluh tiga. Wajahnya cantik sekali. Beliau disukai siswa karena selain cantik juga ramah. Cara mengajarnya enak. Kehadirannya benar-benar menarik seluruh penghuni sekolah itu.