Aku keluar dari loket. Sungguh antrean yang melelahkan. Tubuhku basah oleh keringat. Segera kulangkahkan kakiku mendekati santri-santriku yang sudah lama menunggu. Kulambaikan tujuh lembar tiket sambil tersenyum begitu melihat mereka.
“Dapat, Pak?” tanya Antik.
“Dapat. Ini. Ayo kita masuk!”
Ternyata hampir semua bangku sudah terisi. Penonton yang sebagian besar anak-anak tampak memenuhi GOR. Mataku mencari-cari tempat yang masih kosong. Itu dia! Ada tempat yang masih cukup untuk kami bertujuh. Segera kubawa keenam santriku ke sana. Lima bangku kosong di depan dan tiga di belakangnya. Nurul, Antik, Diana, Putri, dan Dewi menempati bangku di depan. Sedangkan aku dan Rizal di belakang. Satu bangku kami biarkan kosong.
Udara terasa panas. Aku merasa haus. “Siapa yang bawa permen?”
“Saya, Pak,” Putri yang menjawab. Kemudian gadis kecil itu menyodorkan segenggam permen.
Aku mengambil satu. Rizal ikut-ikutan.
“Mau aqua, Pak?” Diana menawarkan.
Aku tersenyum malu. Aku lupa membawa minuman. “Boleh.”
Kurasa hari ini santri-santriku bersikap baik. Tidak seperti biasanya kalau sedang mengaji. Bandel-bandel. Apalagi Diana. Si Badung ini lebih sering membuatku pusing. Tapi alhamdulillah aku berhasil membujuk mereka untuk menonton pertunjukan ini.
Tiba-tiba mataku menangkap sesosok laki-laki kekar. Preman nyasar? Laki-laki itu bercelana jeans dan berkaos hitam. Kedua lengannya yang tidak tertutup menampakkan tatto sampai ke pergelangan tangan. Wajahnya hitam dan kasar, lengkap dengan rambut gondrongnya yang tampak kusut. Benar-benar sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Mau apa orang itu ke sini? Tampaknya ia sedang mencari-cari bangku kosong. Dan celakanya sekarang orang itu melangkah ke arahku. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Kosong, Dik?” ujar laki-laki itu sambil menunjuk bangku di sebelah Rizal.
“I…iya,” sahutku agak tergagap. “Zal, geser ke sana!”
Rizal menggeser tubuhnya. Aku juga bergeser. Laki-laki itu kemudian duduk di bangku yang tadi kududuki. Perasaanku semakin tidak enak. Santri-santriku menjadi terdiam. Mungkin takut terhadap laki-laki itu.
“Rokok?” tiba-tiba laki-laki itu menawarkan rokok kepadaku.
“Terima kasih. Saya tidak merokok,” tolakku lembut.
Laki-laki itu kemudian menyalakan rokoknya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Mau menegur tidak berani. Sedangkan laki-laki itu merokok dengan santainya.
Beberapa saat kemudian pertunjukan dimulai. Tidak ada acara selingan maupun pertunjukan awal. Ini yang disukai penonton. Bintang utama langsung keluar. Haddad Alwi dan Sulis, bintang yang sedang tenar saat ini, tampak berjalan dengan tenang ke tengah panggung, diikuti oleh para pengiringnya. Sambutan penonton meriah luar biasa. Tapi santri-santriku tampaknya tidak ikut bertepuk sorak. Kurasa kehadiran makhluk asing di sebelahku ini yang mengganggu suasana. Namun aku juga merasa heran. Laki-laki itu tampak gelisah. Beberapa kali ia menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Bahkan kemudian rokoknya dilempar ke lantai dan diinjaknya dengan sepatunya yang lusuh. Lalu dia memandang lepas ke panggung.
Setelah berdialog sebentar dengan penonton, kedua bintang itu mulai melantunkan salawat. Sungguh suara yang merdu dan indah. Aku terkejut ketika telingaku menangkap suara nafas berat dari sebelahku. Ketika kulirik, aku menjadi terperangah. Laki-laki bertato itu menangis. Benar-benar kulihat air mata mengalir membasahi pipinya yang hitam.
“Mas, kenapa menangis?” tanyaku lirih dan hati-hati. “Anak itu membuatku terenyuh,” jawab lakli-laki itu sambil menghapus air mata dengan jari-jari tangannya.
“Anak itu memang beruntung. Dia benar-benar mendapatkan berkah shalawat,” ujarku.
“Setiap kali aku mendengar anak itu menyanyi, aku selalu menangis. Seakan-akan ia diciptakan Gusti Allah untuk memperingatkan aku dengan semua dosa-dosaku.”
Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Kubiarkan saja laki-laki itu sibuk dengan perasaannya sendiri, sementara mataku memandang ke arah panggung.
“Dik…!”
Aku terkejut laki-laki itu memanggilku. “Ya?”
“Apa Gusti Allah mau mengampuni aku, kalau aku mau bertobat?”
Aku terperangah, tak menyangka sama sekali laki-laki itu akan berkata demikian. “Allah itu Maha Pengampun, Mas. Dan ampunan Allah itu lebih besar daripada dosa-dosa manusia. Asal Mas bersungguh-sungguh mau bertobat, pasti Allah akan memberikan ampunan sama Mas.”
Laki-laki itu memandangku. Mungkin mencari kebenaran kata-kataku.
“Saya Aminudin.” Kuulurkan tangan kananku sambil tersenyum, mencoba menawarkan persahabatan.
Laki-laki itu tampak ragu-ragu. Namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan kanannya. Lalu kurasakan jabatan tangannya yang kuat.
“Joko. Namaku Joko.” Kulihat air matanya kembali mengalir. “Tolong saksikan, mulai sekarang aku bertobat kepada Gusti Allah!”
Aku mengangguk. Lalu aku mencoba memeluknya. Laki-laki itu malah membalas memelukku lebih kuat. Untuk beberapa saat kami saling berpelukan. Tak kami hiraukan berpasang-pasang mata memandangi kami, termasuk santri-santriku yang terbengong menyaksikan ustadznya sedang berpelukan dengan seorang preman.