Jumat, 30 September 2011

Cerpen : HADIAH BUAT PAK GURU

            “Ssst… Pak Darto,” bisik Silvi.
            Keempat temannya langsung merendahkan tubuhnya, berlindung di balik semak-semak. Di kejauhan tampak Pak Darto sedang berjalan agak cepat menuju WC Guru. Silvi cs mengintai dengan senyum menyeringai.
      Byur! Klontang! Suara guyuran air dan ember jatuh terdengar dari tempat anak-anak bandel itu mengintai begitu Pak Darto masuk WC. Silvi cs cekikikan. Bahkan Faisal sampai memegangi perutnya dan Fina berurai air mata karena merasa geli sekali. Bagi mereka, ‘kecelakaan’ yang menimpa Pak Darto merupakan hal yang sangat lucu. Mereka memang yang memasang jebakan itu. WC Guru yang tidak pernah dikunci memudahkan rencana mereka. Mereka meletakkan seember air penuh di atas daun pintu WC Guru yang dibuka sedikit, sehingga siapa saja yang membuka pintu itu secara otomatis ember yang berada di atas pintu akan terjatuh. Dan hasilnya bisa dibayangkan.
            Beberapa saat kemudian tampak Pak Darto keluar dari WC. Guru yang sudah mulai tampak tua itu basah kuyup, mulai dari kepala sampai pakaiannya. Sungguh menggenaskan. Tapi bagi Silvi cs hal itu sangat menggembirakan. Mereka tertawa puas melihat hasil kerjanya sesuai dengan yang mereka rencanakan.
            Silvi, Faisal, Fina, Egy, dan Anjar adalah anak-anak yang sering membuat onar. Meskipun mereka sudah kelas 3, namun mereka tetap tidak mau mengubah kebiasaan buruk mereka. Mereka tidak hanya ngerjain sesama teman di luar kelompok mereka, tetapi juga terhadap guru. Mereka sudah menjadi langganan menghadap Guru BP. Namun sepertinya tak ada seorang pun yang bisa menasihati mereka. Bagi mereka, tiada hari tanpa membuat ulah.
***
            Semua merasa terkejut dan heran ketika Pak Darto memasuki kelas dengan pakaian basah. Tapi Silvi cs hanya saling memandang dan mesam-mesem.
            “Assalamu'alaikum warahmatulaahi wabarakatuh!” sapa Pak Darto setelah meletakkan buku-bukunya di atas meja.
            Para siswa menjawab serempak, meskipun ada yang suaranya dibuat-buat.
            “Anak-anak, Bapak minta maaf karena terpaksa mengajar dengan pakaian basah,” ucap Pak Darto.
            “Kenapa, Pak?” beberapa anak bersuara serempak.
            “Kebetulan tadi ada yang iseng-iseng sama Bapak,” jawab Pak Darto sambil tersenyum. “Bapak tidak apa-apa. Bapak hanya bisa mendoakan semoga mereka diberi hidayah oleh Allah sehingga mereka akan menyadari kesalahannya. Dan keadaan Bapak yang seperti ini semoga tidak memengaruhi semangat kalian untuk tetap belajar dengan baik.”
            Selanjutnya pelajaran berjalan seperti biasa. Silvi cs saling melirik dan tersenyum simpul. Tapi dalam hati mereka mengagumi kesabaran guru agama itu.
***
            Silvi cs berjalan ke tempat parkir, bermaksud mengambil sepeda motor mereka. Kebetulan Pak Darto baru saja keluar dari tempat parkir menuntun sepeda ontelnya. Rupanya ban belakang sepedanya kempes. Barangkali karena sengaja dikempeskan oleh siswa sebab hal seperti itu sudah sering terjadi.
            “Lihat tuh hasil kerja kamu,” bisik Silvi pada Faisal sambil tersenyum.
            Faisal, Fina, Egy, dan Anjar hanya tertawa kecil melihat keadaan Pak Darto. Dan tanpa disadari oleh Pak Darto, ada sesuatu yang jatuh melayang dari saku belakang celananya ketika beliau mengambil kunci sepeda..
            “Eh, ada yang jatuh,” kata Anjar lirih.
            “Biar aku yang ambil,” ucap Faisal. Lalu dengan langkah yang dibuat sewajar mungkin ia mendekati benda milik Pak Darto yang terjatuh, sementara Pak Darto tetap berjalan menuntun sepedanya pelan-pelan. Dan dengan cepat Faisal memungut benda itu yang langsung dimasukkannya ke dalam saku celananya. Kemudian dengan terburu-buru ia bergerak mendekati teman-temannya sambil tersenyum.
            “Apa, Sal?” tanya Anjar penasaran.
            “Cuma kertas. Tapi belum kubuka,” sahut Faisal sambil mengeluarkan benda yang tadi diambilnya.
            “Cepat buka, Sal!” kata Fina tidak sabar.
            Faisal membuka kertas yang terlipat itu dengan hati-hati. Keempat temannya yang mengerumuninya merasa tidak sabar. Begitu kertas sudah dibuka, dengan cepat Faisal membaca tulisan yang terbesar.  “Slip gaji Pak Darto,” ucapnya lirih.
            Mereka tampak tersenyum. Entah tersenyum senang atau tersenyum licik. Kemudian dengan teliti mereka membaca tulisan di atas kertas itu.
***
            Pak Darto menyandarkan sepedanya di pohon jambu biji depan rumahnya yang sederhana. Ketika ia memasuki rumahnya, tampak istrinya sedang membungkusi ceriping ketela dengan plastik untuk dijual. “Assalamu'alaikum!”
            “Wa’alaikum salam. Sudah gajian ya, Pak?” sahut istrinya.
            “Sudah, Bu,” sahut Pak Darto sambil mengambil uang di dalam tasnya. “Ini!”
            Wanita itu menerima uang yang diulurkan suaminya. Lalu dihitungnya sebentar. “Kok Cuma seratus empat puluh lima, Pak?”
            “Ada potongan lima ribu untuk iuran, karena ada teman yang menikah minggu lalu,” sahut Pak Darto sambil memasukkan tangannya ke saku belakang celananya, bermaksud mengambil slip gajinya. Tapi ia kebingungan karena saku celananya kosong. Ia tak menemukan selembar kertas yang dicarinya. Ah, mungkin terjatuh di jalan, batinnya.
            “Ya sudah. Sana Bapak makan dulu. Setelah sholat, nanti antarkan dagangan ini ke warung Bu Erni dan Bu Nunung!”
            Pak Darto makan dengan lahap meskipun hanya dengan sayur daun ketela, tempe goreng, dan sambal tomat. Pekerjaan sebagai guru swasta tidak memungkinkan ia makan dengan lauk yang mewah. Gaji Rp150.000,00 setiap bulan sungguh tidak cukup untuk biaya hidupnya. Apalagi ia punya istri dan dua orang anak. Beruntung ia memiliki istri yang pandai mencari uang tambahan meskipun hanya dengan berdagang kecil-kecilan. Ia juga merasa bersyukur karena ia masih bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
***
            Pagi ini Pak Darto kembali mengajar. Tapi sungguh ia merasa heran sekaligus senang melihat sikap para siswa yang telah berubah drastis. Suasana belajar benar-benar telah berubah menjadi nyaman. Semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan tekun, termasuk Silvi cs yang biasanya paling ramai dan selalu membuat ulah.
            “Ada yang sudah hapal surat Albayyinah?” tanya Pak Darto.
            “Saya, Pak… saya, Pak!” beberapa anak mengacungkan jari.
            “Coba kamu, Faisal!” kata Pak Darto sambil menunjuk Faisal yang ikut mengacungkan jari, ingin tahu apakah anak bandel itu benar-benar serius telah berubah.
            Ternyata Faisal bisa melafalkan surat Albayyinah dengan lancar. Pak Darto tersenyum puas. Hatinya diam-diam terharu.
            “Sekarang coba kamu, Silvi!” kata Pak Darto lagi.
           

Senin, 12 September 2011

Awas, Khong Guan Palsu!!!

Fenomena perayaan Idul Fitri (Lebaran) memang sangat menarik. Semua warga muslim, terutama di desa-desa, seperti berlomba-lomba membuat makanan/kue untuk disajikan di meja tamu. Kalau tidak bisa membuat sendiri, mereka akan membeli di toko-toko maupun di home industry, sehingga meja tamu akan penuh dengan aneka kue.
Namun jika kita bersilaturrohim ke kampung/desa, kita harus siap-siap kecewa. Kita akan banyak mendapati biskuit kalengan merk terkenal, seperti Khong Guan, Oreo, Nissin, dan masih banyak lagi disajikan di atas meja. Tapi ketika kita membuka tutupnya, ternyata isinya bisa rengginang, ceriping pisang, ceriping ketela, rempeyek, atau makanan tradisional yang lain. Orang-orang itu mungkin hanya memanfaatkan kaleng bekas biskuit tanpa bermaksud untuk memalsukan isinya karena tidak punya wadah yang lain. Alhasil, banyak tamu yang kecewa sekaligus geli karena mengira ia akan mendapatkan biskuit Khong Guan yang lezat, tapi yang didapatnya ternyata rengginang alias biskuit 'palsu'.

Minggu, 26 Juni 2011

Poetry : AKHIR SEBUAH PERJALANAN

Langkahmu tiada berjejak
sehingga anganku terhenyak
sedang hatiku jadi terkoyak

lalu bayangmu jatuh
anganku jadi runtuh
jiwaku terpuruk

dan langkahku kian gontai
terseret dan tersaruk dalam sepi
tak ada lagi yang mesti kutapaki
sebab jalanku sudah mati
semua terhenti
di sini
...
(Pernah dimuat di tabloid lokal "LONTAR", tapi nomornya lupa)

Kamis, 09 Juni 2011

Cerpen Islami : K E M E N A N G A N

                Secepat kilat Totok memburu bola yang diumpankan Rizal. Si kulit bundar diterima dengan baik. Lalu Totok menggiringnya dengan lincah. Melewati dua pemain lawan. Satu pemain belakang siap menghadang. Totok berpikir dengan cepat. Bola ditendangnya ke arah Rizal yang berlari tanpa kawalan lawan. Bola menggelinding dalam jarak dua meter di depan Rizal. Rizal mengejar dengan sekuat tenaga, berlomba dengan penjaga gawang lawan. Rizal lebih beruntung. Ia lebih dulu menyentuh bola. Bahkan ia berhasil mengecoh keeper yang sekarang terguling di atas rumput karena menubruk tempat kosong. Dengan manis Rizal menendang si kulit bundar ke arah gawang yang tanpa penjaga. Dan … goal!
                Penonton bersorak sorai. Rizal dan Totok saling berpelukan dengan gembira. Detik berikutnya teman-temannya berdatangan memeluk. Semua larut dalam kegembiraan. Sedangkan tim lawan tampak tertunduk lesu.
                Satu menit kemudian peluit panjang dibunyikan wasit. Pertandingan berakhir. Totok dan kawan-kawannya berteriak lega. Satu-satunya goal yang diciptakan Rizal membawa timnya maju ke babak final.
***
                Malam harinya diadakan rapat. Totok yang menjadi ketua yang memimpin jalannya rapat. Semua pengurus diundang.
              “Bagaimana rekan Agus, ada ide untuk pertandingan final nanti?” kata Totok sambil memandang Agus yang menjadi Seksi Teknik.
                “Saya kira formasinya seperti tadi sore saja. Sepertinya itu formasi yang paling bagus untuk tim kita,” sahut Agus mantap.
                “Lalu bagaimana dengan kekuatan lawan yang akan kita hadapi?”
                “Sepertinya biasa-biasa saja. Bahkan menurut pengamatan saya, permainannya masih lebih bagus lawan kita tadi sore. Hanya … sepertinya ada yang aneh.” Agus berhenti sejenak, ingin tahu reaksi teman-temannya.
                “Aneh bagaimana?” Totok tampak tidak sabar.
                “Mungkin mereka pakai dukun,” kata Agus lirih, ragu-ragu.
                Semua mata tertuju pada Agus.
                “Iya!” tiba-tiba Hartono menyela. “Saya juga melihat seorang tua bersila di bawah pohon palem menghadap ke lapangan. Mulutnya selalu komat-kamit.”
                “Saya juga melihat keanehan beberapa kali,” kata Agus lagi. “Ketika lawan menendang bola lurus ke arah gawang, tiba-tiba bola itu melenceng ke samping gawang, padahal sudah jelas-jelas bola itu menggelinding lurus dan keeper sudah jauh dari gawang. Hal seperti itu terjadi beberapa kali. Saya kira penonton juga merasa heran dengan kejadian seperti itu.”
                Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti membenarkan uraian Agus.
                “Satu hal lagi,” Udin ikut bicara. “Ketika pertandingan belum dimulai, ada salah seorang yang memercikkan air dari kendi di bawah gawang.”
                Untuk beberapa saat semua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
                “Sakarang bagaimana?” Totok memecah kesunyian. “Ini masalah baru buat kita. Ini bukan masalah teknis, tapi bagaimana kita harus bisa mengalahkan dukun itu.”
                “Bagaimana kalau kita juga pakai dukun yang lebih sakti?” Bardi mengajukan usul.
                “Huuu!” serempak beberapa orang memebrikan reaksi. Bardi nyengir.
                Totok hanya tersenyum. Ia yang juga ketua remaja masjid tentu saja tidak mau dengan cara dukun-dukunan. Semuanya harus dilakukan dengan sportif. “Bagaimana, Pak Rohadi? Mungkin ada masukan?”
                Pak Rohadi yang menjadi penasehat klub mendehem dua kali sebelum bicara. “Kalau saya ada ide sedikit. Boleh diterima dan juga boleh ditolak. Sebaiknya kita membagi tugas.” Kemudian Pak Rohadi membeberkan rencananya. Semuanya tampak mengangguk-angguk tanda setuju.
                Rapat dibubarkan pukul 21.30. Wajah-wajah mereka tampak cerah penuh harapan. Masih ada waktu dua hari untuk persiapan pertandingan final.

Senin, 06 Juni 2011

Cerpen Islami : INDAHNYA KASIH SAYANG

                “Ayo, Falia. Mau ngaji nggak?” kataku sambil tersenyum.
                “Sebentar, Pak. Dina saja dulu,” sahut gadis manis itu sambil tersenyum juga. Agak tersipu.
           Ah, gadis ini tampak aneh belakangan ini. Selalu minta giliran terakhir, meskipun datangnya lebih awal daripada teman-temannya. Dina segera menyerahkan katu Qiroatil Quran-nya kepadaku dan membuka Al-Quran-nya. Kemudian aku mulai menyimak bacaan gadis kecil itu.
             Sekarang tiba giliran Falia. Kuraih Al-Quran yang tadi dibaca Dina. Kucocokkan halaman dengan Al-Quran yang akan dibaca gadis itu. Setelah cocok, Falia mulai membaca dan aku menyimak dengan seksama. Memang berbeda caraku menyimak santri membaca Al-Quran. Kalau yang masih kecil seperti Dina, aku langsung melihat Al-Quran yang dibaca santri. Tapi untuk santri putri yang sudah baligh, aku menyimaknya dengan membuka Al-Quran sendiri, sedangkan santri juga membuka Al-Quran sendiri dan duduknya agak jauh dariku.
            “Dina, cepetan keluar!” kudengar suara santri dari balik pintu ruang TPQ, agak berbisik, namun terdengar jelas di telingaku. Dina tampak agak ragu. Tapi sepertinya teman-temannya menyuruhnya agar ia segera keluar. Bahkan beberapa santri yang masih ada di dalam diwsuruh keluar semua. Dan kini tinggal aku berdua dengan Falia. Lalu kudengar bisik-bisik di luar dari santri-santri. Aku merasa tidak enak. Kulirik ke luar pintu. Tampak mereka sedang berbisik-bisik sambil melirikku. Aku terkesiap. Tiba-tiba wajahku terasa panas. Ya Allah, apa yang sedang terjadi?
           Aku baru sadar jika mereka memang membiarkan aku berdua dengan Falia. Sudah tiga hari keadaan seperti ini. Mulanya aku tidak begitu peduli dengan godaan beberapa santri putri yang sudah remaja tentang aku dan Falia. Tapi kini… tiba-tiba hatiku jadi panik. Keadaan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam otakku.
                Aku batasi hanya satu ruku’ saja untuk Falia sore ini. Gadis itu tampak tidak puas. Aku tidak peduli. Aku langsung berdiri, sementara gadis itu menutup Al-Qurannya.
                “Masuk!” aku berteriak.
                Santri-santri yang sedang asyik bermain-main segera berlarian masuk. Gaduh sekali.
                “Satu!”aku mulai menghitung.
                “Kaa-kii-nyaa!” semua santri menjawab serempak. Ini artinya kaki tidak boleh bergerak lagi dan duduk dengan rapi.
                “Dua!”
                “Taa-ngaan-nyaa!” ini berarti tangan tidak boleh usil.
                “Tiga!”
                “Kee-paa-laa-nyaa!” kalau yang ini artinya santri harus merapikan peci atau jilbabnya.
                “Empat!”
                “Suu-daah sii-aap!”
          Santri-santri tampak duduk dengan tenang sambil memandangku. Nah, begini kan bagus! Tapi mungkin mereka sekarang tampak heran melihat ekspresi wajahku yang ‘tampak sadis’.
            “Kalian yang sudah remaja, sekarang kok mulai nganeh-anehi?” kataku datar. Nyaris tanpa ekspresi. Tapi kurasa lebih cenderung ke nada marah.
                Kulihat santri-santri putri yang sudah remaja menundukkan kepala, termasuk Falia. Mungkin juga mereka baru tahu kalau ternyata aku juga bisa marah. Biasanya aku selalu penuh senyum dan berbicara sopan. Tapi sore ini? Aku hanya diam dengan tampang angker sambil memandangi mereka. Suasana jadi hening.
                “Berdoa!” seruku kemudian.
            “Allohumma arinal haqqo haqqo…” Semua berdoa bersama. Setelah ditutup dengan salawat tiga kali, mereka berdiri dan menjabat tanganku sambil berjalan keluar, kecuali santri-santri putri yang sudah remaja. Mereka memang tak kuizinkan berjabatan tangan denganku. Selain karena memang hukum agama yang mengharuskan demikian, juga sekedar upayaku agar aku tidak berbuat kurang ajar terhadap santri putri. Aku sudah menganggap mereka adik-adikku sendiri. Aku menghormati dan menyayangi mereka.
            Kupandangi mereka meninggalkan masjid. Santri-santri yang masih anak-anak berjalan pulang sambil bercanda. Tapi santri putri yang sudah remaja berjalan dengan diam. Hanyha kadang-kadang kulihat mereka saling berbisik. Falia yang berjalan sendirian di belakang tampak menunduk sambil mendekap Al-Quran di dadanya. Maafkan saya, gadis! kataku dalam hati.

Sabtu, 04 Juni 2011

Cerpen Islami : SELAMAT JALAN SAHABAT

Aku keluar dari loket. Sungguh antrean yang melelahkan. Tubuhku basah oleh keringat. Segera kulangkahkan kakiku mendekati santri-santriku yang sudah lama menunggu. Kulambaikan tujuh lembar tiket sambil tersenyum begitu melihat mereka.
“Dapat, Pak?” tanya Antik.
“Dapat. Ini. Ayo kita masuk!”
Ternyata hampir semua bangku sudah terisi. Penonton yang sebagian besar anak-anak tampak memenuhi GOR. Mataku mencari-cari tempat yang masih kosong. Itu dia! Ada tempat yang masih cukup untuk kami bertujuh. Segera kubawa keenam santriku ke sana. Lima bangku kosong di depan dan tiga di belakangnya. Nurul, Antik, Diana, Putri, dan Dewi menempati bangku di depan. Sedangkan aku dan Rizal di belakang. Satu bangku kami biarkan kosong.
Udara terasa panas. Aku merasa haus. “Siapa yang bawa permen?”
“Saya, Pak,” Putri yang menjawab. Kemudian gadis kecil itu menyodorkan segenggam permen.
Aku mengambil satu. Rizal ikut-ikutan.
“Mau aqua, Pak?” Diana menawarkan.
Aku tersenyum malu. Aku lupa membawa minuman. “Boleh.”
Kurasa hari ini santri-santriku bersikap baik. Tidak seperti biasanya kalau sedang mengaji. Bandel-bandel. Apalagi Diana. Si Badung ini lebih sering membuatku pusing. Tapi alhamdulillah aku berhasil membujuk mereka untuk menonton pertunjukan ini.
Tiba-tiba mataku menangkap sesosok laki-laki kekar. Preman nyasar? Laki-laki itu bercelana jeans dan berkaos hitam. Kedua lengannya yang tidak tertutup menampakkan tatto sampai ke pergelangan tangan. Wajahnya hitam dan kasar, lengkap dengan rambut gondrongnya yang tampak kusut. Benar-benar sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Mau apa orang itu ke sini? Tampaknya ia sedang mencari-cari bangku kosong. Dan celakanya sekarang orang itu melangkah ke arahku. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Kosong, Dik?” ujar laki-laki itu sambil menunjuk bangku di sebelah Rizal.
“I…iya,” sahutku agak tergagap. “Zal, geser ke sana!”
Rizal menggeser tubuhnya. Aku juga bergeser. Laki-laki itu kemudian duduk di bangku yang tadi kududuki. Perasaanku semakin tidak enak. Santri-santriku menjadi terdiam. Mungkin takut terhadap laki-laki itu.
“Rokok?” tiba-tiba laki-laki itu menawarkan rokok kepadaku.
“Terima kasih. Saya tidak merokok,” tolakku lembut.
Laki-laki itu kemudian menyalakan rokoknya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Mau menegur tidak berani. Sedangkan laki-laki itu merokok dengan santainya.
Beberapa saat kemudian pertunjukan dimulai. Tidak ada acara selingan maupun pertunjukan awal. Ini yang disukai penonton. Bintang utama langsung keluar. Haddad Alwi dan Sulis, bintang yang sedang tenar saat ini, tampak berjalan dengan tenang ke tengah panggung, diikuti oleh para pengiringnya. Sambutan penonton meriah luar biasa. Tapi santri-santriku tampaknya tidak ikut bertepuk sorak. Kurasa kehadiran makhluk asing di sebelahku ini yang mengganggu suasana. Namun aku juga merasa heran. Laki-laki itu tampak gelisah. Beberapa kali ia menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Bahkan kemudian rokoknya dilempar ke lantai dan diinjaknya dengan sepatunya yang lusuh. Lalu dia memandang lepas ke panggung.
Setelah berdialog sebentar dengan penonton, kedua bintang itu mulai melantunkan salawat. Sungguh suara yang merdu dan indah. Aku terkejut ketika telingaku menangkap suara nafas berat dari sebelahku. Ketika kulirik, aku menjadi terperangah. Laki-laki bertato itu menangis. Benar-benar kulihat air mata mengalir membasahi pipinya yang hitam.
“Mas, kenapa menangis?” tanyaku lirih dan hati-hati.
“Anak itu membuatku terenyuh,” jawab lakli-laki itu sambil menghapus air mata dengan jari-jari tangannya.
“Anak itu memang beruntung. Dia benar-benar mendapatkan berkah shalawat,” ujarku.
“Setiap kali aku mendengar anak itu menyanyi, aku selalu menangis. Seakan-akan ia diciptakan Gusti Allah untuk memperingatkan aku dengan semua dosa-dosaku.”
Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Kubiarkan saja laki-laki itu sibuk dengan perasaannya sendiri, sementara mataku memandang ke arah panggung.
“Dik…!”
Aku terkejut laki-laki itu memanggilku. “Ya?”
“Apa Gusti Allah mau mengampuni aku, kalau aku mau bertobat?”
Aku terperangah, tak menyangka sama sekali laki-laki itu akan berkata demikian. “Allah itu Maha Pengampun, Mas. Dan ampunan Allah itu lebih besar daripada dosa-dosa manusia. Asal Mas bersungguh-sungguh mau bertobat, pasti Allah akan memberikan ampunan sama Mas.”
Laki-laki itu memandangku. Mungkin mencari kebenaran kata-kataku.
“Saya Aminudin.” Kuulurkan tangan kananku sambil tersenyum, mencoba menawarkan persahabatan.
Laki-laki itu tampak ragu-ragu. Namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan kanannya. Lalu kurasakan jabatan tangannya yang kuat.
“Joko. Namaku Joko.” Kulihat air matanya kembali mengalir. “Tolong saksikan, mulai sekarang aku bertobat kepada Gusti Allah!”
Aku mengangguk. Lalu aku mencoba memeluknya. Laki-laki itu malah membalas memelukku lebih kuat. Untuk beberapa saat kami saling berpelukan. Tak kami hiraukan berpasang-pasang mata memandangi kami, termasuk santri-santriku yang terbengong menyaksikan ustadznya sedang berpelukan dengan seorang preman.

Jumat, 03 Juni 2011

Cerpen Islami : GURUKU CANTIK SEKALI (My Beautiful Teacher)

“Pengumuman! Sekali lagi pengumuman!” Budi berteriak lantang.
Suasana kelas yang tadi ribut kini agak tenang. Semua mata tertuju ke depan kelas, ingin tahu apa yang akan disampaikan si Badung.
Listen carefully!” Budi mulai bergaya. “Khusus untuk pelajaran Bahasa Indonesia, semua anak putri harus duduk di belakang!”
“huuu!” anak-anak putri serentak memberikan reaksi. “Enak aja. Mentang-mentang gurunya cantik!”
“Setuju! Setuju!” anak-anak putra bersorak gembira.
“Sekarang… ayo kita laksanakan!” teriak Budi kemudian.
Suasana kelas jadi gaduh. Anak-anak putri betul-betul diusir dari bangkunya. Yang membandel ditarik-tarik atau didorong-dorong. Dan akhirnya anak-anak putri harus rela dengan acara paksa-paksaan itu. Anak-anak putra tersenyum penuh kemenangan.
“Bu Riska datang!” seru Roni yang mengintip keluar lewat jendela.
Mendadak semua jadi tenang. Budi yang terkenal paling badung pun juga berusaha bersikap tenang.
Beberapa saat kemudian seorang wanita berseragam safari masuk. Melangkah dengan anggun menuju meja guru. Rambutnya yang panjang menyentuh pinggang diikat dengan rapi seperti ekor kuda. Semua mata memandang wanita itu dari mulai masuk sampai duduk di kursinya. Lebih-lebih anak putra. Betapa cantiknya Guru Bahasa Indonesia itu.
“Selamat pagi, siswa sekalian!” Bu Riska mulai membuka suara sambil berdiri di depan kelas. Suaranya lembut namun jelas.
“Selamat pagi, Bu!” anak-anak menjawab dengan bersemangat.
Kemudian Bu Riska mulai mengabsen. “Agus Waluyo!”
“Ada, Bu!” Agus berseru keras, sementara tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
“Budi Setyawan!”
“Hadir, Bu!” Budi tidak mau kalah dengan Agus.
Tidak sampai dua menit absensi selesai. Bu Riska mulai mencatat di papan tulis. Anak-anak sibuk menyalin di bukunya masing-masing.
“Ada yang berbaik hati pada ibu untuk mengambilkan kapur?” ujar Riska tiba-tiba.
“Saya, Bu! Saya, Bu!” anak-anak putra berebut mengacungkan jari. Roni yang paling dekat dengan pintu langsung berdiri dan berlari keluar. Budi kalah cepat. Ia yang sudah telanjur berdiri tampak kecewa. Tapi ia tidak kehabisan akal. Ia melangkah ke depan dan meraih penghapus.
“Yang kiri saya hapuskan ya, Bu!” kata Budi.
“Lho, teman-temanmu kan belum selesai menulisnya. Nanti saja ya!” ujar Bu Riska sambil tersenyum.
Budi tampak kecewa. Juga malu. Apalagi teman-temannya tertawa semua. Dengan lesu ia kembali ke bangkunya.
Bu Riska masih termasuk guru baru. Belum genap empat bulan beliau mengajar. Usianya baru dua puluh tiga. Wajahnya cantik sekali. Beliau disukai siswa karena selain cantik juga ramah. Cara mengajarnya enak. Kehadirannya benar-benar menarik seluruh penghuni sekolah itu.

Kamis, 26 Mei 2011

Cerpen Islami : JIKA PAK GURU JATUH CINTA

Pak Pras merasakan perutnya keroncongan. Pagi tadi ia memang belum sempat sarapan. Ia hanya tidak mau terlambat masuk karena ia harus mengajar pada jam pertama. Baginya, segala sesuatu harus dimulai dari dirinya sendiri sebelum diajarkan kepada orang lain. Jika ia mengajarkan kedisiplinan kepada murid-muridnya, ia sendiri yang harus menerapkan kedisiplinan itu terlebih dahulu. Dan seandainya semua guru bersikap sama seperti Pak Pras, insya Allah sekolah akan bertambah maju. Pak Pras memang terkenal sebagai guru yang paling disiplin. Sportif. Jujur. Muda. Tampan. Masih bujangan lagi. Pak Pras disukai oleh hampir semua siswa karena sifatnya yang ramah. Juga dekat dengan siswa tapi tetap bisa membatasi diri.
Pak Pras memutuskan untuk sarapan di kantin. Ia keluar dari Kantor Guru. Dilihatnya anak-anak putra sedang bermain voly. Ia terus berjalan menuju kantin. Di depan Kelas II A didapatinya beberapa siswi sedang bergerombol.
“Lho, olahraga kok di sini?” sapa Pak Pras ramah.
“Pak Budi nggak datang,” serempak mereka menjawab.
“Mungkin sebentar lagi beliau datang,” Pak Pras mencoba membela teman seprofesinya.
“Kemarin saja sudah kosong. Memang Pak Budi nggak disiplin,” seorang siswi menyahut.
“Iya, Pak. Pak Pras saja yang jadi guru olahraganya!” seorang lagi menimpali.
“Iya, Pak Pras. Kan asyik!” yang lain ikut memberi dukungan.
Pak Pras hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya dan berlalu dari tempat itu. Masih didengarnya mereka tertawa. Wah, gawat nih! batinnya.
Mendadak ia menghentikan langkahnya ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh di dalam kantin. Farida! Jantung Pak Pras langsung berdegup kencang. Dan celakanya, gadis itu kini menoleh ke arahnya. Pak Pras langsung membelokkan langkahnya ke arah WC. Beruntung letak WC agak dekat dengan kantin, sehingga orang lain tidak mengira kalau sebetulnya ia hendak ke kantin.
Pak Pras langsung membuka pintu WC dan dengan cepat menyelinap masuk. Dikuncinya pintu WC untuk memastikan tak ada orang lain yang bisa masuk. Lalu ia bersandar di pintu untuk menata perasaannya. Ya Allah… mengapa jadi begini? keluhnya dalam hati. Apakah aku mulai jatuh cinta pada gadis itu?
Di dalam WC guru muda itu tidak melakukan apa-apa. Ia hanya sibuk menata hatinya sambil bersandar di pintu. Selama ini ia selalu bisa menguasai perasaannya untuk tidak punya urusan asmara dengan siswi. Tapi kini? Ia seperti tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk menepis perasaannya terhadap Farida. Entah sejak kapan perasaannya terganggu dengan sosok gadis manis itu. Padahal ia sudah berusaha untuk bersikap wajar terhadap Farida. Ia yakin ia bisa mengatasi perasaannya. Namun ternyata kali ini ia kena batunya. Semakin ia berusaha bersikap wajar, semakin kuat pula perasaan itu membelit jiwanya. Kini ia baru menyadari, bahwa ternyata jiwanya tidak sekuat yang diduganya. Dan ia juga tak habis pikir, bagaimana ia bisa tertarik terhadap Farida? Karena wajahnya? Ia merasa bukan itu. Gadis itu tidak tergolong cantik. Hanya wajahnya cukup manis. Atau karena penampilannya? Ia juga merasa bukan itu. Farida tidak berjilbab, padahal gadis idamannya adalah gadis yang berjilbab. Lalu apa? Pak Pras tidak tahu apa yang menyebabkan ia bisa jatuh cinta kepada Farida. Ia seperti kembali lagi mengalami masa puber pertama. Ah, cinta…
Ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan perasaan Pak Pras. “Siapa di dalam?”
“Saya! Sebentar!” seru Pak Pras. Buru-buru ia membasahi tangannya dengan air. Kemudian bergegas membuka pintu.
“O… Pak Pras,” ujar Bu Sri begitu melihat siapa yang baru saja keluar.
“Iya, Bu. Silakan!” sahut Pak Pras sambil tersenyum.
Pak Pras melirik sekilas ke arah kantin. Di sana masih ada Farida yang sedang memandang ke arahnya. Kembali jantung Pak Pras berdegup kencang. Cepat-cepat Pak Pras meninggalkan tempat itu. Ia bahkan tak berani lagi menengok ke arah kantin. Ia kembali melangkah menuju ke Kantor Guru. Masih didapatinya siswi-siswi yang bergerombol di depan kelasnya.
“Pak Pras kok pucat, sich?” seorang siswi langsung berkomentar.
Dada Pak Pras langsung bergemuruh. Jangan-jangan mereka tahu tentang perasaanku, batinnya. Ia mencoba tersenyum. Getir.
“Pak Pras belum sarapan, ya?” yang lain menimpali, seakan-akan tidak peduli dengan perasaan guru muda itu.
“Iya, saya belum sarapan,” ucap Pak Pras jujur, sekaligus untuk menutupi kegugupannya. “Ada yang berbaik hati untuk memesankan soto ke kantin buat saya?”
“Saya, Pak! Saya, Pak!” gadis-gadis itu berebutan menawarkan diri. Dua orang sudah langsung berlari ke arah kantin. Yang lainnya tampak kecewa.
***
Pak Pras menyelesaikan tahajjudnya dengan khusyuk. Ia luruh dalam ketidakberdayaannya. Ia serahkan segalanya kepada kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil.
“Ya Allah… limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku. Tolonglah aku dalam segala pekerjaanku. Mudahkanlah segala urusan bagiku. Aku berlindung kepada Engkau dari segala keburukan. Aku berlindung kepada Engkau dari segala fitnah. Jagalah dan peliharalah diriku. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik penjaga dan pemelihara. Dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan kekuasaan-Mu. Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati, selesaikanlah urusanku dengan gadis yang mengganggu perasaanku. Jauhkanlah fitnah di antara kami. Dan jangan biarkan kami saling menyakiti. Peliharalah kami dengan pemeliharaan dari-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Amin.”
Jiwa Pak Pras menjadi lebih tenang. Ia tak ingin urusannya menjadi berlarut-larut. Selama ini belum seorang pun yang tahu tentang perasaan Pak Pras terhadap Farida. Dan Pak Pras sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Ia merahasiakan masalah itu dengan rapat. Sebab jika orang lain tahu, urusannya bisa menjadi tidak karuan. Ia tidak ingin mengotori citra pendidikan hanya karena menurutkan emosi pribadinya. Sebenarnya ia pun bisa saja mengungkapkan perasaannya kepada Farida dan mendapatkan cinta gadis itu. Ia optimis ia bisa melakukannya karena ia juga paham betul dengan sikap Farida bila sedang berada di depannya. Sikap gadis itu tidak bisa disembunyikannya, bahwa ia juga mempunyai perasaan khusus terhadapnya. Dan beruntung pula bagi Pak Pras karena Farida termasuk gadis pendiam. Mungkin gadis itu juga tidak ingin perasaanya diketahui orang lain.
Selain itu Pak Pras juga memiliki prinsip yang kuat, ia tak akan pernah berpacaran dengan siswi. Selain karena ia tahu hukumnya haram, ia juga menjaga citra guru. Apalah jadinya jika ia melanggar prinsipnya sendiri. Guru berpacaran dengan murid! Pasti berita ini akan menjadi berita yang dahsyat. Wibawa guru akan tercoreng. Segalanya akan menjadi berantakan. Alangkah memalukan.
***
Hari terakhir Ujian Semester Gasal. Pak Pras sudah mengamankan kunci dan map soal ujian untuk Ruang 3. Sebelumnya ia selalu menghindari menjaga ujian di Ruang 3 karena di dalamnya ada Farida, gadis yang akhir-akhir ini membuat perasaannya tidak menentu. Kalaupun kebetulan jadwalnya mengharuskan ia menjaga ujian di Ruang 3, ia selalu mengambil kunci dan map untuk ruang lain lebih dahulu, mendahului guru-guru lain, agar ia tidak menjaga ujian di Ruang 3. Dalam hal ini ia menjadi tidak disiplin. Namun kini ia bertekad harus bisa mengatasi masalah ini. Jika ia tidak berhasil mengatasi perasaannya, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kelak jika ia kembali mengajar di kelas Farida nanti. Oleh sebab itu, hari ini ia memaksakan diri untuk menjaga ujian di Ruang 3. Perasaannya menjadi tidak karuan. Hatinya berdesir-desir. Ia tampak gelisah menunggu sirine tanda masuk berbunyi.
Dan suara sirine tiba-tiba berbunyi. Pak Pras merasakan seperti godam yang memukul jantungnya dengan keras. Jantungnya menjadi berdetak-detak. Kali ini lebih cepat dan keras. Ia pun melangkah dengan perasaan tidak menentu, seakan-akan ia hendak menghadapi perang besar.
Agak gemetar tangannya ketika memasukkan anak kunci ke lubangnya. Lalu dengan cepat ia menuju meja guru dan duduk di kursinya. Jantungnya semakin keras berdetak, memukul-mukul rongga dadanya, seolah-olah hendak meledak keluar. Untuk beberapa saat ia hanya duduk sambil menatap lantai, menata hatinya yang bergemuruh, sambil menunggu semua siswa masuk. Sungguh ia tak berani memandang siapa-siapa saja siswa yang masuk. Yang ia tahu bahwa Farida berada dalam ruangan itu.
“Duduk siap… grak!” seorang siswa memberi aba-aba. “Berdoa… mulai!”
Suasana menjadi hening. Semua larut dalam doa, termasuk Pak Pras. Guru muda itu benar-benar bersungguh-sungguh memohon pertolongan Allah. Dan berangsur-angsur gemuruh di dadanya semakin mereda.
“Berdoa… selesai! Duduk istirahat… grak!”
Pak Pras berdiri. Lalu tangannya merobek tepi sampul untuk mengambil isinya. Jari-jarinya masih agak gemetar meskipun perasannya semakin tenang. Kemudian ia mulai membagi-bagikan soal ujian. Ketika sampai ke bangku Farida, dada Pak Pras bergemuruh kembali meskipun tidak sekeras seperti pertama masuk tadi. Ia meletakkan kertas soal ujian di atas meja Farida dengan cepat, agar tidak kelihatan kalau sebetulnya ia gemetar. Ia pun tak berani memandang wajah gadis itu. Sedangkan Farida sendiri juga hanya berani menatap meja.
Pada akhirnya Pak Pras benar-benar bisa menguasai perasaannya. Detak jantungnya kembali normal. Berkali-kali ia memuji Allah di dalam hati.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Semua berlangsung apa adanya.
***
Wisuda siswa. Para wisudawan datang bersama kedua orang tuanya atau walinya. Semua berwajah ceria. Inilah hari terakhir mereka menjadi siswa setelah selama tiga tahun berjuang menuntut ilmu di sekolah yang mereka cintai ini. segala peristiwa yang terjadi selama itu menjadi kenangan bagi mereka. Ada sedih ada gembira. Ada yang lucu dan ada yang menyebalkan. Semuanya akan terasa manis bila kelak mereka mengingatnya.
Pak Pras sibuk bertugas menjadi penerima tamu bersma Bu Neti. Ia harus selalu memasang senyum ramah. Namun ia tidak merasa lelah maupun jenuh karena ia ikhlas melakukannya.
“Pak Pras, tolong ambilkan gambar!” tiba-tiba seorang gadis berjilbab sudah berdiri di hadapan Pak Pras sambil menyodorkan sebuah tustel. Farida!
Pak Pras terbengong sesaat. Ia ragu untuk menerima tustel itu. Tapi ketika dilihatnya teman-teman Farida berdiri di belakangnya, Pak Pras pun meraih tustel itu sambil tersenyum. Sedangkan teman-teman Farida tampak gembira dengan kesediaan guru muda itu.
“Di taman, Pak!” seru Ratna.
Gadis-gadis itu berlarian ke taman sekolah sambil tertawa-tawa kecil. Pak Pras mengikuti mereka dengan berjalan biasa. Biarlah mereka bersenang-senang, toh ini terakhir mereka berkumpul, batin Pak Pras.
“Oke!” Pak Pras memasang tustel di depan matanya ketika mereka sudah siap berpose. “Sudah?”
“Sudah!”
Pak Pras menurunkan tustel tanpa memencet tombolnya, bersikap seolah-olah ia telah menyelesaikan tugasnya.
“Lho… Pak… kok nggak jadi?” gadis-gadis itu kebingungan. Keki.
“Katanya sudah!” balas Pak Pras sambil tersenyum.
“Maksudnya sudah siap, gitu!” ujar Ratna. Semua merasa geli dengan kelakar guru muda itu.
“Oke. Siap! Satu… dua… ti… ga!” kali ini Pak Pras betul-betul membidikkan tustelnya dan memencet tombolnya. “Sudah, ya!”
Tiba-tiba suara dari pengeras suara memberitahukan bahwa acara wisuda akan segera dimulai. Gadis-gadis itu berlarian meninggalkan Pak Pras, kecuali Farida. Gadis berjilbab itu hanya berjalan biasa. Pak Pras menjajarinya.
“Farida mau kuliah?” Pak Pras mencoba memulai pembicaraan.
“Nggak tahu, Pak. Biayanya nggak ada,” jawab Farida lirih. Inilah pertama kalinya mereka berbincang berdua.
“Atau mungkin mau langsung kerja?”
“Nggak tahu juga. Sepertinya jaman sekarang sulit cari pekerjaan.”
Pak Pras tertawa kecil. “Farida… ng… saya minta maaf ya, kalau saya pernah berbuat salah sama Farida!”
“Ah, Pak Pras nggak punya salah kok sama Farida. Pak Pras baik sekali. Harusnya Farida yang minta maaf sama Pak Pras.’
“Nggak juga. Farida juga baik kok.” Jantung Pak Pras sedikit berdegup. Ia berjalan sambil menatap lantai. Tak dilihatnya wajah gadis di sampingnya yang bersemu merah.
“Farida masuk dulu ya, Pak Pras. Nanti telat.”
“Silakan, Farida.”
Akhirnya Farida masuk ke aula. Pak Pras kembali ke tempatnya semula.
“Farida manis sekali ya, Pak Pras,” goda Bu Neti.
Pak Pras tersenyum malu.
“Bagus lho, kalau dijadikan istri,” Bu Neti bertambah nekat. “Dia gadis yang baik.”
Pak Pras tidak kuasa menjawab. Ia hanya mampu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Pak Pras pun menilai Farida memang gadis yang baik. Sejak ia naik ke Kelas III, ia mulai mengenakan jilbab. Kemudian rajin pula mengikuti kajian di Rohis setelah sebelumnya juga aktif di OSIS. Ah, andai ia bukan muridku, desah hati Pak Pras.

Temanggung, awal September 2007

Rabu, 25 Mei 2011

Diary : CINTA YANG TAK UTUH (Love is Not Intact)

12 Syawal
Tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah kota tua, dengan tanah berpasir dan pohon-pohon kurmanya. Pagi yang cerah. Mentari mulai tersenyum ceria. Langit biru tanpa awan sepotong pun. Udara terasa sejuk dan segar. Dan aktivitas manusia mulai terlihat. Tapi tunggu! Aku berada di mana? Kulihat orang-orang berpakaian khas Arab. Di negeri Arabkah aku kini? Tapi kota apa ini? Tampak masih primitif sekali. Orang-orang yang berlalu lalang hanya menoleh ke arahku sekilas, seakan-akan tidak tertarik sama sekali dengan kehadiranku. Aneh sekali. Padahal dengan tampang berbeda dengan mereka dan pakaian modern begini seharusnya membuat mereka keheranan. Tapi tampaknya mereka benar-benar tidak memedulikanku.
“Aminah melahirkan! Aminah melahirkan!” tiba-tiba seorang laki-laki berteriak-teriak. “Bayinya laki-laki!”
Orang-orang tampak bergegas menuju sebuah rumah dengan raut muka menunjukkan kegembiraan.
Aminah? Siapa dia? Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu. Diakah?
Aku pun kemudian beranjak mendekati rumah itu. Dan anehnya orang-orang sengaja memberiku jalan sehingga aku bisa melangkah sampai ke dekat tempat yang menjadi pusat perhatian. Di sana kulihat seorang wanita muda sedang berbaring sambil tersenyum di samping seorang bayi. Dan bayi itu… alangkah eloknya! Wajahnya tampan dan bersinar. Aku merasa takjub sekali. Kurasa orang-orang yang mengitarinya juga merasa takjub. Lebih-lebih seorang lelaki tua yang tampak paling berwibawa yang memandang bayi itu dengan mata berbinar dan senyum yang selalu mengembang.
“Tsuwaibah, beri kabar Abu Jahal bahwa Aminah sudah melahirkan bayi laki-laki!” kata laki-laki tua itu kemudian kepada seorang perempuan.
Perempuan itu tersenyum dan bergegas keluar tanpa membantah.
Laki-laki tua itu kemudian meraih bayi itu dan mengangkatnya. “Bayi ini kuberi nama Muhammad!”
Aku kian takjub.

13 Syawal
Aku berjalan di bawah terik. Panas sekali. Tubuhku sudah basah oleh keringat. Aku gembira ketika melihat sebuah pohon berduri di depan sebuah bangunan besar. Aku mempercepat langkah dengan berlari dan menemukan keteduhan di sana.
Seorang laki-laki tua tampak keluar dari bangunan besar itu. Ia tampak seperti seorang yang shaleh. Barangkali dia seorang rahib atau pendeta. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang. Berkali-kali pandangannya tertuju ke arah jalan di tengah-tengah padang pasir.
“Sedang menunggu seseorang, Pak?” sapaku ramah.
Laki-laki tua itu menoleh ke arahku. Hanya sebentar. “Ya,” jawabnya pendek seraya kembali mengalihkan pandangannya ke arah jalan.
“Siapa yang Bapak tunggu, kalau saya boleh tahu?” kataku lagi.
“Dia yang dijanjikan.”
“Siapa yang menjanjikan?”
Tanyaku tak dijawabnya karena ia melihat kafilah di kejauhan. Ia melihat ke langit dan lalu tersenyum ketika melihat sepotong awan putih di birunya langit. Aku tak mengerti dengan sikapnya. Barangkali orang yang ditunggunya sudah datang.
Kafilah itu berhenti di bawah pepohonan tidak jauh dari tempatku berdiri. Dan seseorang dari mereka melangkah ke arah kami. Laki-laki tua di sampingku menyambut orang itu dengan ramah.
“Tuan pimpinan kafilah itu?” tanya si Tuan Rumah.
“Ya,” sahut orang itu sambil tersenyum.
“Atas nama Allah, saya mengundang Tuan dan rombongan Tuan untuk sekedar beristirahat sejenak di biara saya. Ada sedikit makanan dan minuman yang saya rasa cukup untuk melepaskan dahaga,” tawar si Tuan Rumah.
Orang itu kembali ke rombongannya dengan gembira. Dan tak berapa lama kemudian ia kembali lagi dengan beberapa laki-laki. Laki-laki tua di sampingku menjabat tangan mereka satu per satu sambil meneliti wajah mereka dan mempersilahkan masuk. Aku hanya berdiri memandang karena mereka hanya memandangku sekilas dan tampaknya tidak peduli dengan keberadaanku. Sampai giliran terakhir sepertinya siTuan Rumah tampak kecewa.
“Tuan, masih adakah orang dalam rombongan Tuan yang tidak ikut kemari?” tanya laki-laki tua itu kepada laki-laki terakhir yang menjadi ketua rombongan.
“Oh, ada. Masih ada seorang anak yang kami tugaskan untuk menjaga barang-barang kami,” sahut orang itu keheranan.
“Atas nama Allah, ajaklah ia kemari, Tuan!” laki-laki tua itu memohon.
Orang itu semakin heran dengan kata-kata si Tuan Rumah. Tapi tak urung ia pun menyanggupinya. “Baiklah,” katanya sambil melangkah menuju ke tempatnya semula.
Beberapa saat kemudian ia kembali lagi bersama seorang remaja tanggung. Laki-laki tua di sampingku tampak berseri-seri wajahnya melihat tamu remaja itu. Dan… aku pun begitu takjub ketika melihat wajah remaja itu dari dekat. Alangkah elok dan tampannya remaja itu. Ditambah lagi dengan sinar yang memancar dari wajahnya. Belum pernah aku melihat manusia seelok itu. Dan anehnya anak itu tidak kepanasan di bawah terik mentari, sedangkan orang di sampingnya tetap tertimpa panas matahari. Aku mendongak ke langit dan kutemukan sepotong awan putih yang bayangannya tepat mengenai anak itu. Dan tampaknya awan itu sengaja melindungi anak itu dari sengatan sinar matahari, sehingga ia selalu bergerak mengikuti keberadaan anak itu. Dan aku baru menyadarinya. Anak itu… diakah?
Si Tuan Rumah tampak gembira sekali. Ia tidak cukup hanya menjabat tangan anak itu, tapi juga memeluknya dengan hangat. Setelah itu ia meneliti wajah dan tubuh anak itu dengan cermat. Tutup kepala yang dipakai anak itu dilepasnya pula. Sedangkan anak itu hanya terbengong diperlakukan seperti itu.
“Silakan masuk, Nak,” kata si Tuan Rumah lembut beberapa saat kemudian. Rupanya laki-laki tua itu sudah menemukan apa yang dicarinya.
Remaja itu melangkah masuk dengan penuh tanda tanya.
“Tuan, siapa anak itu?” tanya si Tuan Rumah kepada laki-laki yang menyertainya.
“Dia keponakan saya. Ia yatim piatu.”
“Siapa namanya?”
“Muhammad.”
Mata laki-laki tua itu semakin berbinar. “Tuan, dengarlah kata-kata saya. Lekaslah Tuan selesaikan urusan di sini. Lalu bawalah keponakan Tuan pulang ke negerinya dan jagalah dia dengan sebaik-baiknya dari orang-orang Yahudi. Karena, demi Allah, jika mereka melihatnya dan menemukan tentang dia apa yang saya ketahui, mereka akan berbuat jahat terhadapnya. Masa depan besar terletak di depan keponakanmu itu.”

14 Syawal
Seorang gadis jelita sedang bermain dengan seorang anak kecil. Usia gadis itu sekitar 16 atau 17 tahun. Sedangkan adiknya barangkali sekitar 4 tahun. Mereka tampak asyik sekali. Kehadiranku tidak menganggu sama sekali keasyikan mereka. Aku pun tak ingin mengusik. Aku hanya berdiri memandang.
“Ayo loncat, Ja’far!” seru gadis itu sambil membetulkan letak kerudungnya yang tertiup angin dan menampakkan rambut panjangnya yang hitam lurus.
Anak kecil itu berlari dan melompati kayu yang dipasang kakaknya di antara dua batu besar. Dan tampaknya anak itu tidak berhasil melewatinya. Kaki kirinya tersandung dan ia jatuh terjerembab di atas pasir. Si gadis tertawa terpingkal-pingkal dan si kecil hanya tersenyum sambil berusaha bangkit kembali.
“Muhammad pulang! Muhammad pulang!” teriak anak itu tiba-tiba dengan gembira sambil berlari menyongsong seorang pemuda yang baru datang.
Pemuda itu… masya Allah! Sungguh cakap dia. Wajahnya tampan dan bersinar. Perawakannya gagah namum anggun. Sudah sebesar itukah?
Pemuda itu tersenyum menyambut si kecil Ja’far, sementara si gadis hanya memandang sambil tersenyum.
“Kamu bawa apa, Muhammad?” tanya Ja’far sambil menggelayut di lengan pemuda itu.
Pemuda itu menurunkan tas kainnya dan membukanya. “Aku bawa buah tiin dan zaitun.” Ia memberikan dua bungkusan kain kepada Ja’ar sambil tersenyum.
“Kurmanya mana?” kata si kecil sambil menerima bungkusan itu.
“Kan kemarin belum habis,” ujar pemuda itu. “Tapi aku belikan buat kamu baju dan terompah.”
Laki-laki kecil itu berbinar matanya melihat benda-benda yang diberikan pemuda itu. Ia meraihnya dengan cepat dan mencobanya satu per satu.
“Dan ini buat Fakhita,” kata pemuda itu lagi seraya melangkah mendekati si gadis dan memberikan kain biru yang terlipat dengan rapi.
“Ini apa, Muhammad?” tanya gadis itu takjub sembari menerima pemberian pemuda itu.
“Ini kain dari China. Kubelikan khusus buat kamu, Fakhita.”
“Terima kasih, Muhammad. Kain ini pasti mahal sekali.” Gadis itu membentangkan kain itu. Berwarna biru langit dan berukuran panjang.
“Kamu pasti akan bertambah cantik dengan kain itu.”
Wajah Fakhita yang putih bersih memerah mendengar kata-kata pemuda di depannya. Gadis itu memang cantik jelita. Dan pemuda yang usianya sekitar 20 tahun itu tampaknya sangat menyukai gadis itu. Matanya yang lembut seakan tak pernah lepas dari wajah si gadis. Tatapan penuh rasa sayang dan …cinta.*)
“Paman Abu Thalib ada di rumah?” tanya pemuda itu kemudian.
“Ya. Ayah juga baru saja pulang.”
“Sebentar ya, aku masuk dulu,” kata pemuda itu lagi. Lalu ia mengambil tasnya dan melangkah masuk rumah.
Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Kuikuti langkahnya memasuki rumah. Kulihat seorang laki-laki yang kumis dan jenggotnya tampak mulai memutih sedang duduk di kursi tamu. Ia tersenyum melihat pemuda itu. Dan pemuda itu lalu duduk di depannya dengan sopan. Kehadiranku tampaknya tidak mengganggu suasana.
“Ada yang ingin engkau sampaikan, anakku?” kata laki-laki itu lembut.
“Ya, Paman,” sahut si pemuda. Lalu diam beberapa saat. Tampaknya ia sedang mengumpulkan keberanian. “Begini, Paman… saya sudah merasa cukup dewasa. Teman-teman saya yang seusia dengan saya sudah banyak yang menikah. Dan saya juga ingin menikah seperti teman-teman saya.” Diam lagi.
“Itu bagus, Muhammad. Engkau sudah punya pilihan?” kata laki-laki itu dengan bijak.
“Sudah, Paman.”
“Gadis mana yang akan engkau sunting?” kata laki-laki itu lagi dengan penuh minat.
“Kalau Paman tidak keberatan, saya ingin menikah dengan Fakhita, putri Paman sendiri.” Pemuda itu menundukkan kepalanya. Wajahnya yang bersih tampak memerah.
Laki-laki itu terperangah. Barangkali tidak pernah menyangka jika pemuda itu ternyata mencintai putrinya. Dan untuk beberapa saat ia terdiam. Mungkin bingung apa yang harus dikatakannya.
“Muhammad, anakku. Sungguh engkau tak memiliki cela sedikit pun. Akhlakmu luhur dan mulia. Engkau juga jujur dan terpercaya. Alangkah bahagianya jika engkau benar-benar menjadi menantuku.” Laki-laki itu menatap sendu wajah pemuda di hadapannya sambil menghela nafas. “Tapi maafkan pamanmu, Nak. Tadi pagi seorang pemuda terkenal dari Bani Makhzun telah melamar Fakhita. Namanya Hubayrah. Dan aku telah menerima lamarannya.”
Wajah pemuda itu seketika menjadi pias. Dadanya naik turun menahan gejolak jiwanya. Ia tampak kecewa sekali.
“Maafkan saya, Paman,” kata pemuda itu kemudian dengan agak terbata. “Barangkali memang Fakhita bukan jodoh saya. Maafkan saya telah membuat pikiran Paman terganggu.” Ia bangkit berdiri. “Saya keluar dulu, Paman.”
Laki-laki itu tidak berusaha menahan pemuda itu. Ia tahu pemuda itu sedang dilanda kekecewaan.
Kuikuti langkah pemuda itu. Kasihan sekali dia! Ia pasti kecewa sekali karena cintanya tak kesampaian. Ia melangkah keluar sambil menunduk. Wajahnya murung. Tak ada senyum sedikit pun.
“Muhammad… mau kemana kau?” seru Fakhita.
Pemuda itu hanya melambaikan tangan kanannya tanpa menjawab. Juga tanpa menoleh. Apalagi tersenyum. Ia tetap berjalan sambil menunduk. Gadis itu merasakan keanehan dengan sikap pemuda itu, karena tidak biasanya ia bersikap begitu. Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang membuat pemuda itu tampak masygul.
“Fakhita… ayo masuk!” seru seseorang dari dalam rumah.
Aku terus mengikuti langkah pemuda itu. Entah ke mana ia kan menuju. Atau barangkali tak ada tujuan pasti ke mana kakinya menapak. Ia berjalan terus sambil menunduk. Sesekali ia menengadah ke langit, melihat dengan keheranan sepotong awan yang selalu mengikutinya. Ia lalu mendaki bukit dan gunung yang penuh batu. Dan akhirnya ia menemukan sebuah gua dan memasukinya. Aku berhenti di depan mulut gua. Tak berani masuk.

15 Syawal
Kulihat orang-orang sedang duduk di bawah sebuah pohon kurma, mengelilingi seorang laki-laki berjubah hijau. Laki-laki itu tampak bersinar wajahnya. Kumis dan jenggotnya kian membuatnya tampak lebih tampan dan anggun. Aku seperti pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana? Kapan?
Tiba-tiba dua orang laki-laki melewatiku. Tampaknya keduanya hendak bergabung dengan orang-orang itu.
“Pak… tunggu!” seruku
Kedua orang itu berhenti dan menoleh ke arahku. “Ada apa?”
“Siapa laki-laki berjubah itu?” tanyaku.
“Apakah engkau belum tahu?” jawab yang berjenggot tebal. “Beliau adalah Rasulullah.”
Rasulullah?
Kedua orang itu kembali melanjutkan langkahnya. Aku bergegas mengikutinya.
“Assalamu’alaikum, ya Rasulallah!” ucap kedua orang itu serempak.
“Wa’alaikum salam,” sahut laki-laki agung itu sambil tersenyum. “Duduklah!”
“Assalamu’alaikum, ya Rasulallah!” ucapku dengan bersemangat.
Namun ternyata salamku tak dijawabnya. Bahkan beliau seakan tidak memedulikan aku. Aku menjadi bingung.
“Ya Rasulallah… saya adalah umatmu,” kataku dengan panik. “Mengapa engkau tak memandangku?”
“Aku hanya memandang orang yang mencintaiku,” sahut lelaki agung itu tanpa memandangku.
“Tapi aku mengagumi dan mengidolakanmu!” aku mencoba membela diri.
“Tidak cukup hanya mengagumi dan membuatku menjadi idola, karena banyak orang yang mengagumiku tetapi tidak pernah mau menerima agama Allah yang hak.”
“Kalau begitu aku mencintaimu.”
“Aku hanya menerima cinta yang tulus.”
“Sungguh aku mencintaimu sepenuh hati!”
“Engkau bohong! Cintamu tak utuh dan terputus-putus. Engkau sedikit sekali bershalawat untukku. Engkau lebih banyak terlelap pada sepertiga malam yang terakhir daripada menemui kekasihku. Engkau meninggalkan jihad yang tak seberapa berat hanya karena mengejar dunia. Engkau juga jarang berlapar-lapar pada siang hari. Lalu bagaimana aku bisa percaya bahwa engkau benar-benar mencintaiku?”
“Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu…”
“Engkau bohong! Bohong!” tiba-tiba orang-orang yang duduk mengelilingi laki-laki agung itu serentak berteriak dan berdiri menghadapku.
“Tidak! Aku tidak bohong!” teriakku.
“Bohong! Bohong!” Mereka melangkah menghampiriku dengan wajah tak bersahabat.
Aku panik. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. “Tidak…! Tidaaa…k!”
Beberapa pasang tangan sudah memegang tubuhku dengan kasar. Selanjutnya beberapa pukulan menimpa wajahku. Hah…! Aku tersentak. Dan kudapati diriku terduduk di atas tempat tidurku. Masya Allah…! Aku bermimpi rupanya. Tapi terasa begitu nyata. Tubuhku benar-benar basah oleh keringat. Bagaimana bisa aku bermimpi tentang manusia agung itu empat malam berturut-turut?
Aku termenung. Kuakui kebenaran kata-kata manusia agung itu. Aku belum pantas menjadi pencinta sejati. Aku tak pernah sholat Tahajjud. Tak pernah berpuasa sunat. Jarang membaca shalawat. Dan masih banyak kebaikan yang belum kulakukan. Ah, alangkah bodohnya aku!
Kulempar selimut dengan keras. Lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang pencinta sejati. Cinta untuk Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam. Jika kelak aku bertemu lagi dengan beliau, aku ingin beliau menerimaku dengan cintanya. Allohumma sholli ‘alaihi.

Temanggung, Ramadhan 1426
Dari seorang pencinta
yang cintanya belum utuh
dan masih terputus-putus