Senin, 06 Juni 2011

Cerpen Islami : INDAHNYA KASIH SAYANG

                “Ayo, Falia. Mau ngaji nggak?” kataku sambil tersenyum.
                “Sebentar, Pak. Dina saja dulu,” sahut gadis manis itu sambil tersenyum juga. Agak tersipu.
           Ah, gadis ini tampak aneh belakangan ini. Selalu minta giliran terakhir, meskipun datangnya lebih awal daripada teman-temannya. Dina segera menyerahkan katu Qiroatil Quran-nya kepadaku dan membuka Al-Quran-nya. Kemudian aku mulai menyimak bacaan gadis kecil itu.
             Sekarang tiba giliran Falia. Kuraih Al-Quran yang tadi dibaca Dina. Kucocokkan halaman dengan Al-Quran yang akan dibaca gadis itu. Setelah cocok, Falia mulai membaca dan aku menyimak dengan seksama. Memang berbeda caraku menyimak santri membaca Al-Quran. Kalau yang masih kecil seperti Dina, aku langsung melihat Al-Quran yang dibaca santri. Tapi untuk santri putri yang sudah baligh, aku menyimaknya dengan membuka Al-Quran sendiri, sedangkan santri juga membuka Al-Quran sendiri dan duduknya agak jauh dariku.
            “Dina, cepetan keluar!” kudengar suara santri dari balik pintu ruang TPQ, agak berbisik, namun terdengar jelas di telingaku. Dina tampak agak ragu. Tapi sepertinya teman-temannya menyuruhnya agar ia segera keluar. Bahkan beberapa santri yang masih ada di dalam diwsuruh keluar semua. Dan kini tinggal aku berdua dengan Falia. Lalu kudengar bisik-bisik di luar dari santri-santri. Aku merasa tidak enak. Kulirik ke luar pintu. Tampak mereka sedang berbisik-bisik sambil melirikku. Aku terkesiap. Tiba-tiba wajahku terasa panas. Ya Allah, apa yang sedang terjadi?
           Aku baru sadar jika mereka memang membiarkan aku berdua dengan Falia. Sudah tiga hari keadaan seperti ini. Mulanya aku tidak begitu peduli dengan godaan beberapa santri putri yang sudah remaja tentang aku dan Falia. Tapi kini… tiba-tiba hatiku jadi panik. Keadaan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam otakku.
                Aku batasi hanya satu ruku’ saja untuk Falia sore ini. Gadis itu tampak tidak puas. Aku tidak peduli. Aku langsung berdiri, sementara gadis itu menutup Al-Qurannya.
                “Masuk!” aku berteriak.
                Santri-santri yang sedang asyik bermain-main segera berlarian masuk. Gaduh sekali.
                “Satu!”aku mulai menghitung.
                “Kaa-kii-nyaa!” semua santri menjawab serempak. Ini artinya kaki tidak boleh bergerak lagi dan duduk dengan rapi.
                “Dua!”
                “Taa-ngaan-nyaa!” ini berarti tangan tidak boleh usil.
                “Tiga!”
                “Kee-paa-laa-nyaa!” kalau yang ini artinya santri harus merapikan peci atau jilbabnya.
                “Empat!”
                “Suu-daah sii-aap!”
          Santri-santri tampak duduk dengan tenang sambil memandangku. Nah, begini kan bagus! Tapi mungkin mereka sekarang tampak heran melihat ekspresi wajahku yang ‘tampak sadis’.
            “Kalian yang sudah remaja, sekarang kok mulai nganeh-anehi?” kataku datar. Nyaris tanpa ekspresi. Tapi kurasa lebih cenderung ke nada marah.
                Kulihat santri-santri putri yang sudah remaja menundukkan kepala, termasuk Falia. Mungkin juga mereka baru tahu kalau ternyata aku juga bisa marah. Biasanya aku selalu penuh senyum dan berbicara sopan. Tapi sore ini? Aku hanya diam dengan tampang angker sambil memandangi mereka. Suasana jadi hening.
                “Berdoa!” seruku kemudian.
            “Allohumma arinal haqqo haqqo…” Semua berdoa bersama. Setelah ditutup dengan salawat tiga kali, mereka berdiri dan menjabat tanganku sambil berjalan keluar, kecuali santri-santri putri yang sudah remaja. Mereka memang tak kuizinkan berjabatan tangan denganku. Selain karena memang hukum agama yang mengharuskan demikian, juga sekedar upayaku agar aku tidak berbuat kurang ajar terhadap santri putri. Aku sudah menganggap mereka adik-adikku sendiri. Aku menghormati dan menyayangi mereka.
            Kupandangi mereka meninggalkan masjid. Santri-santri yang masih anak-anak berjalan pulang sambil bercanda. Tapi santri putri yang sudah remaja berjalan dengan diam. Hanyha kadang-kadang kulihat mereka saling berbisik. Falia yang berjalan sendirian di belakang tampak menunduk sambil mendekap Al-Quran di dadanya. Maafkan saya, gadis! kataku dalam hati.
***
         Kutapaki jalan setapak yang hampir setiap hari kulewati. Lalu pematang sawah yang sudah akrab dengan kakiku. Jarang sekali aku berjalan lewat tengah kampong yang sudah beraspal. Ini untuk menghindari fitnah yang mungkin timbul dari orang-orang yang tidak menyukai kehadiranku. Juga untuk menekan jiwaku yang bisa termakan sifat riya’ dan ujub.
           Tak terasa sudah tiga tahun aku mengajar di TPQ di kampung ini. Mulanya aku hanya diminta oleh pengurus LKMD untuk mengajar di sini karena tak ada lagi orang yang mengajar anak-anak mengaji. Aku pun menyanggupi meskipun dengan berat hati. Aku sadar dengan ilmu agamaku yang masih dangkal. Mungkin juga pengurus LKMD menggunakan pepatah ’Tak ada rotan akar pun jadi’. Maka jadilah aku ‘akar’ yang terpaksa digunakan. Aku niati jihad fi sabilillah dan bersedekah ilmu. Aku juga sudah mengetahui situasi kampung ini yang suasana keagamaannya masih gersang. Aku tak ingin setengah-setengah. Harus total dalam jihad. Lalu kuajak teman karibku sekampung, Iman dan Abidin untuk membantuku.
           Ketika aku dating pertama kali, Falia dan teman-teman sebayanya masih kelas 6 SD. Lalu jadilah aku dan kedua karibku bagaikan tiga ‘pendekar’ yang setiap sore datang ke masjid di kampung ini, mengajarkan anak-anak lebih mengenal agama Allah.
         Dua bulan kemudian ada seorang gadis dari kampung ini yang ikut mengajar. Namanya Syarifah. Alhamdulillah! Ia baru saja dari pondok pesantren. Lalu beberapa hari kemudian ia mengajak seorang temannya lagi, Fitri. Sebetulnya aku ingin ada remaja putra yang ikut mengajar di TPQ. Paling tidak untuk menghindari fitnah. Mungkin ini adalah ujian pertama bagiku. Segera kuperbaiki niatku sungguh-sungguh untuk berjihad. Aku khawatir jika kehadiran gadis-gadis itu hanya menimbulkan fitnah. Aku tak ingin ada urusan asmara antar ustadz-ustadzah. Toh aku sudah cukup puas dengan menyayangi dan mencintai anak-anak. Kurasakan betapa indahnya perasaan kasih sayang di tengah anak-anak yang masih suci. Sungguh ini merupakankarunia yang besar sekali bagiku. Kegiatan TPQ semakin semarak. Anak-anak kian bersemangat mengaji tiap sore, kecuali hari Ahad.
       Aku juga sudah mendengar gosip miring tentang kami. Aku maklum. Aku dan kedua karibku laki-laki semua. Sedangkan dari kampung ini perempuan semua. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan fitnah. Tapi kami bergeming. Masing-masing kami sadar dengan keadaan ini. Inilah beratnya jihad. Kegiatan TPQ tetap berjalan seperti biasa.
       Setengah tahun kemudian Fitri tidak lagi ikut mengajar karena telah mendapatkan pekerjaan. Lalu empat bulan kemudian Iman menikah. Ia tak lagi bisa membantu mengajar. Tinggallah kami bertiga : aku, Abidin, dan Syarifah.
    Keadaan ini ternyata tidak berlangsung lama. Syarifah mendapatkan pekerjaan. Dan tidak berapa lama kemudian ia menikah. Namun ini kurasa membuka mata orang sekampung bahwa gosip yang tersebar selama ini tidak terbukti kebenarannya.
      Kini semakin berat bebanku. Abidin pun tidak serajin dulu lagi. ia lebih banyak absen. Bahkan ia kemudian bekerja di luar kota. Jadilah aku berjuang seorang diri. Aku tak ingin TPQ ini mati. Kasihan anak-anak jika tak ada yang mengajar. Lapi pula hatiku sudah telanjur mencintai anak-anak.
  Akhirnya kubentuk pengurus santri dari anak-anak yang sudah remaja. Kuminta mereka membantuku mengajar adik-adiknya. TPQ tetap berjalan meskipun agak tersendat-sendat.
     Namun kini, aku sungguh tak pernah menyangka kalau ternyata ada seorang santri yang jatuh cinta kepadaku. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Falia jatuh cinta kepadaku. Aku tahu gadis itu mulai menginjak remaja. Adalah hal yang wajar jika ia mulai jatuh cinta pada lawan jenisnya. Tapi kalau ternyata cintanya ditujukan padaku? Wah, ini benar-benar luar biasa. Usiaku sendiri saat ini hampir mendekati kepala tiga. Sudah waktunya untuk menikah. Namun mungkin takdirku yang belum memungkinkan untuk menikah sampai saat ini.
    Awalnya aku tidakbegitu peduli ketika teman-teman Falia menggodaku. Seperti ketika kebetulan aku baru keluar dari ruang sekretariat, sementara Falia masih di dalam, mereka berkata, “Wah senang, berdua sama Falia.”
    Lalu Falia juga selalu datang paling awal, bercanda sebentar denganku sambil menunggu santri-santri yang lain datang. Cara dia berbicara dan tersenyum, aku melihatnya jelas jika gadis itusedang jatuh cinta. Namun siapa mengira jika aku yang menjadi sasaran cintanya? Sedangkan Falia sendiri tampaknya tidak merasa malu perasaannya diketahui teman-temannya. Aku pun harusnya merasa bahagia dicintai seorang gadis semanis dan sebaik Falia. Tapi tidak! Aku malah panik. Panik sekali. Selama ini aku menganggap Falia sebagai adikku sendiri, seperti santri-santri yang lain karena aku kebetulan tidak punya adik, meskipun aku juga tahu bahwa ia tetap bukan mahramku. Aku sangat menyayangi gadis itu.
   Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana jika kemudian tersebar gosip di kampung itu tentang aku dan Falia. Guru berpacaran dengan murid. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan fitnah yang dahsyat. Alangkah mengerikan! Tamatlah riwayatku di kampung itu. Dan kurasa tidak hanya sampai di situ. TPQ bisa jadi ajang fitnah. Lalu hancur. Selanjutnya orang-orang di kampung itu jadi ‘alergi’ terhadap hal-hal yang berbau agama. Siapapun yang ingin menghidupkan agama, hanya akan mendapatkan cibiran dan cemoohan. Ah, sia-sialah jihadku selama ini. Lalu apakah yang akan diperbuat Allah terhadapku kelak? Aku sadar, ini hanyalah ujian bagiku. Harus segera kuselesaikan secepatnya sebelum ada gosip yang keburu menyebar.
    Malamnya aku pun jadi sulit tidur. Gelisah. Pikiran dan perasaanku hanya terisi oleh masalah di TPQ. Akhirnya aku sujud dalam tahajjud. Aku mohon pertolongan Allah agar masalah ini dapat berakhir dengan baik.
***
    Santri-santri yang masih anak-anak kupulangkan lebih dulu. Juga santri-santri remaja putra. Santri-santri remaja putrid yang hanya tujuh orang tetap kutahan. Kukira mereka inilah yang menjadi sumber gosip.
    “Cah ayu-ayu,”kataku lembut sambil kupandangi wajah-wajah manis yang duduk bersimpuh tidak jauh di hadapanku. “Sebetulnya aeda apa, sich?”
      “Nggak ada apa-apa kok, Pak,”Ratna yang menjawab.
      “Iya, Pak. Nggak ada apa-apa kok,” yang lain ikut menimpali, kecuali Falia.
     Aku tercenung sejenak. Kurasa mereka hanya tidak mau mengatakannya. Mungkin takut aku akan marah. Aku mencoba memaklumi.
      “Cah ayu-ayu, maukah kalian menolong saya?” kataku kemudian.
      Wajah-wajah manis itu mengangkat kepalanya, memandangku tanpa seorang pun yang menjawab. Mungkin belum paham dengan maksudku.
        “Saya di sini adalah untuk berjihad. Beban saya sudah terlalu berat. Maka tolonglah saya agar kalian tidak menambah beban saya dengan menyebar gosip yang bisa menimbulkan fitnah.” Aku berhenti sejenak. Aku ingin ada yang menanggapi perkataanku. Ini juga sekedar pancingan, apakah dugaanku yang keliru. Namun semuanya hanya menunduk sambil memandangi tikar. Dan ini yang semakin meyakinkanku bahwa dugaanku benar belaka. “Demi Allah, saya sangat menyayangi kalian. Kalian sudah saya anggap sebagai adaik-adik saya sendiri. Makanya saya selalu berusaha bersikap baik pada kalian. Dan baru kemarin sore saja saya tampak marah. Tapi sebetulnya saya tidak marah pada kalian. Saya hanya khawatir jika hal seperti kemarin menyebar ke tengah-tengah kampung. Tahukah kalian, apa akibatnya jika hal itu terjadi?”
      Gadis-gadis itu hanya menunduk. Kemudian aku bicara panjang lebar. Tentang jihad, tentang kasih sayang, tentang hidup. Sampai hampir Maghrib baru aku mengakhiri ‘pidato’ku.
      Kuharap mereka mengerti, terutama Falia. Kuminta mereka berdoa sebelum beranjak meninggalkan masjid. Mereka berdoa dengan lirih, tidak seperti biasanya. Aku tak tahu apa yang dirasakan mereka. Dan aku juga tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Toh aku sudah berusaha. Hal-hal selanjutnya kuserahkan kepada kebijaksanaan Allah. Namun yang pasti aku tetap menyayangi mereka.
***
    Hari-hari selanjutnya ternyata TPQ tetap berjalan seperti biasa. Falia juga tidak berubah. Bahkan kini ia semakin rajin mengaji. Kadang-kadang ia datang lebih awal daripada aku. Gosip yang kukhawatirkan tidak sempat menyebar. Berkali-kali aku memuji Allah dalam hati. Berarti satu ujian telah berhasil kulewati.
      Tampaknya Falia juga mengerti. Ia menyayangiku. Itu terlihat dari sikapnya. Ia lebih banyak membantuku, meringankan beban yang kutanggung. Ini sebuah karunia bagiku. Aku juga semakin menyayanginya. Kurasakan betapa indahnya saling menyayangi karena Allah. Bukankah ini juga sebagian kecil ungkapan kasih sayang Allah? Alangkah indahnya…
***
Nopember 2000
(Ini cerpen pertama saya yang dimuat di media massa. Cerpen ini dimuat di majalah ANNIDA edisi Nomor 23/X/31 Agustus 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar