Aku meloncat turun dari angkudes disambut
gerimis. Begitu menginjak jalan berbatu, aku segera berlari menuju sebuah kios
rokok yang sudah tutup. Di bawah atap kios yang sempit, aku berteduh dari
guyuran gerimis yang semakin deras.
Rupanya
cuaca benar-benar tak mau bersahabat denganku. Langit semakin deras mencurahkan
airnya, tak dipedulikannya ada sesosok makhluk yang kedinginan sendirian di
tempat yang sepi ini. Huh! Aku
menggerutu dalam hati. Dasar sial! Kalau
saja tidak kutolak tawaran Gandi, saat ini mungkin aku sudah duduk di depan
televisi sambil menghirup kopi panas, tak perlu berdingin-dingin ria di bawah
kios rokok yang sempit begini! Mana sendirian lagi! Tapi aku merasa bangga
juga mampu menolak tawaran si Playboy Sekolah itu. Mungkin dikiranya semua
gadis bisa bertekuk lutut terhadapnya. Ha
ha... tahu rasa dia!
Aku semakin kedinginan sementara
air dari langit kian deras. Sepatu dan rok panjangku sudah mulai basah. Baju
dan jilbabku pun tak mampu menahan dingin yang menggigilkan.
Dherr...!
Tiba-tiba suara petir menggelegar. Keras. Dekat sekali. Jantungku serasa mau
copot. Innaa lilaahi wa innaa ilaihi
rooji’uun! spontan aku mengucap di dalam hati. Hujan semakin deras, seperti
dicurahkan dari langit. Suasana juga kian bertambah gelap, lebih cepat dari
saat sebenarnya. Aku semakin menggigil. Dan perasaan takutku mulai timbul.
Lengkap sudah penderitaanku. Kapan cuaca akan berhenti menerorku?
Sayup-sayup
kudengar suara adzan. Sudah masuk waktu Maghrib. Aku semakin merasa takut.
Ingin rasanya kuterjang saja hujan sialan ini, agar aku bisa segera sampai di
rumah. Namun aku harus berpikir dua kali. Besok seragam ini masih harus
kupakai. Lagi pula kalau aku harus berjalan sendirian di bawah hujan dan dalam
suasana gelap, aku merasa ngeri sekali. Apalagi kalau harus melewati jalan di
bawah kuburan yang terkenal angker. Hiii... aku sungguh-sungguh tak berani!
Tiba-tiba
kulihat sesosok tubuh yang sedang berjalan di bawah payung hitam. Dari cahaya
petir yang sekilas-sekilas, dapat kupastikan bahwa orang itu adalah laki-laki.
Orang itu semakin mendekat ke arahku. Dan mendadak aku merasa gembira karena
laki-laki yang sekarang berdiri di depanku itu ternyata adalah kakekku. Tanpa
dikomando aku pun segera melesat ke sampingnya.
“Kakek
mau pulang, ya?” tanyaku retoris. “Kakek dari mana sih?”
“Dari
desa sebelah,” jawab Kakek pendek sambil merangkul pundakku dan mulai
melangkah.
Setelah
itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Aneh rasanya karena biasanya aku
yang paling banyak bicara jika berada di dekat Kakek. Tapi sekarang? Aku juga
merasa heran mengapa aku menjadi pendiam di samping Kakek, seperti ada sesuatu
yang menghalangi lidahku untuk bicara. Tapi aku tak peduli. Yang penting aku
merasa aman berjalan pulang di samping Kakek. Bahkan ketika melewati jalan di
bawah kuburan pun, perasaan takutku hilang entah ke mana. Padahal, ke WC
malam-malam sendirian saja aku minta diantar Ibu. Itupun pintunya tidak kukunci
dan kubuka sedikit, sementara Ibu harus menungguku di depan pintu.
Sungguh-sungguh aneh.
Memasuki
kampungku, hujan mulai reda. Hanya tingal gerimis kecil-kecil. Aku merasa lega.
Lampu-lampu dari rumah penduduk sudah mulai terlihat. Sebentar lagi aku akan
sampai di rumah. Terus mandi, sholat Maghrib, dan minum teh hangat. Hemm... pasti nikmat sekali!
Aku
dan Kakek terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk. Kira-kira dua puluh
meter lagi sampai ke rumahku, aku melihat sinar lampu di rumahku menyala lebih
terang daripada biasanya. Dan kulihat juga di rumahku sedang berkumpul banyak
orang. Biasanya kalau lampu menyala lebih terang dan banyak orang pasti ada
sesuatu acara di rumahku. Dan kali ini ada acara apa? Aku merasa heran. Semakin
dekat, telingaku mendengar ayat-ayat suci Alquran dilantunkan bersama-sama.
Seperti orang sedang bertahlil. Hatiku tiba-tiba tercekat. Baru aku sadar.
Bukankah... bukankah Kakek sudah meninggal? Dan bukankah ini adalah malam
keempat puluh beliau meninggal? Kalau begitu, ini adalah malam sedekahan.
Lalu... siapa yang berjalan di sampingku? Dan ketika aku menoleh... benar-benar
tidak ada siapa-siapa di sana! Hiii...! Dengan panik aku berlari ke arah rumah.
(Pernah dimuat di Tabloid local “LONTAR” No
08 Tahun I Mei 2007)