Sabtu, 15 September 2012

Cerpenli : KAKEK


Aku meloncat turun dari angkudes disambut gerimis. Begitu menginjak jalan berbatu, aku segera berlari menuju sebuah kios rokok yang sudah tutup. Di bawah atap kios yang sempit, aku berteduh dari guyuran gerimis yang semakin deras.
            Rupanya cuaca benar-benar tak mau bersahabat denganku. Langit semakin deras mencurahkan airnya, tak dipedulikannya ada sesosok makhluk yang kedinginan sendirian di tempat yang sepi ini. Huh! Aku menggerutu dalam hati. Dasar sial! Kalau saja tidak kutolak tawaran Gandi, saat ini mungkin aku sudah duduk di depan televisi sambil menghirup kopi panas, tak perlu berdingin-dingin ria di bawah kios rokok yang sempit begini! Mana sendirian lagi! Tapi aku merasa bangga juga mampu menolak tawaran si Playboy Sekolah itu. Mungkin dikiranya semua gadis bisa bertekuk lutut terhadapnya. Ha ha... tahu rasa dia!
Aku semakin kedinginan sementara air dari langit kian deras. Sepatu dan rok panjangku sudah mulai basah. Baju dan jilbabku pun tak mampu menahan dingin yang menggigilkan.
            Dherr...! Tiba-tiba suara petir menggelegar. Keras. Dekat sekali. Jantungku serasa mau copot. Innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun! spontan aku mengucap di dalam hati. Hujan semakin deras, seperti dicurahkan dari langit. Suasana juga kian bertambah gelap, lebih cepat dari saat sebenarnya. Aku semakin menggigil. Dan perasaan takutku mulai timbul. Lengkap sudah penderitaanku. Kapan cuaca akan berhenti menerorku?
            Sayup-sayup kudengar suara adzan. Sudah masuk waktu Maghrib. Aku semakin merasa takut. Ingin rasanya kuterjang saja hujan sialan ini, agar aku bisa segera sampai di rumah. Namun aku harus berpikir dua kali. Besok seragam ini masih harus kupakai. Lagi pula kalau aku harus berjalan sendirian di bawah hujan dan dalam suasana gelap, aku merasa ngeri sekali. Apalagi kalau harus melewati jalan di bawah kuburan yang terkenal angker. Hiii... aku sungguh-sungguh tak berani!
            Tiba-tiba kulihat sesosok tubuh yang sedang berjalan di bawah payung hitam. Dari cahaya petir yang sekilas-sekilas, dapat kupastikan bahwa orang itu adalah laki-laki. Orang itu semakin mendekat ke arahku. Dan mendadak aku merasa gembira karena laki-laki yang sekarang berdiri di depanku itu ternyata adalah kakekku. Tanpa dikomando aku pun segera melesat ke sampingnya.
            “Kakek mau pulang, ya?” tanyaku retoris. “Kakek dari mana sih?”
            “Dari desa sebelah,” jawab Kakek pendek sambil merangkul pundakku dan mulai melangkah.
            Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Aneh rasanya karena biasanya aku yang paling banyak bicara jika berada di dekat Kakek. Tapi sekarang? Aku juga merasa heran mengapa aku menjadi pendiam di samping Kakek, seperti ada sesuatu yang menghalangi lidahku untuk bicara. Tapi aku tak peduli. Yang penting aku merasa aman berjalan pulang di samping Kakek. Bahkan ketika melewati jalan di bawah kuburan pun, perasaan takutku hilang entah ke mana. Padahal, ke WC malam-malam sendirian saja aku minta diantar Ibu. Itupun pintunya tidak kukunci dan kubuka sedikit, sementara Ibu harus menungguku di depan pintu. Sungguh-sungguh aneh.
            Memasuki kampungku, hujan mulai reda. Hanya tingal gerimis kecil-kecil. Aku merasa lega. Lampu-lampu dari rumah penduduk sudah mulai terlihat. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah. Terus mandi, sholat Maghrib, dan minum teh hangat. Hemm... pasti nikmat sekali!
            Aku dan Kakek terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk. Kira-kira dua puluh meter lagi sampai ke rumahku, aku melihat sinar lampu di rumahku menyala lebih terang daripada biasanya. Dan kulihat juga di rumahku sedang berkumpul banyak orang. Biasanya kalau lampu menyala lebih terang dan banyak orang pasti ada sesuatu acara di rumahku. Dan kali ini ada acara apa? Aku merasa heran. Semakin dekat, telingaku mendengar ayat-ayat suci Alquran dilantunkan bersama-sama. Seperti orang sedang bertahlil. Hatiku tiba-tiba tercekat. Baru aku sadar. Bukankah... bukankah Kakek sudah meninggal? Dan bukankah ini adalah malam keempat puluh beliau meninggal? Kalau begitu, ini adalah malam sedekahan. Lalu... siapa yang berjalan di sampingku? Dan ketika aku menoleh... benar-benar tidak ada siapa-siapa di sana! Hiii...! Dengan panik aku berlari ke arah rumah.
(Pernah dimuat di Tabloid local “LONTAR” No 08 Tahun I Mei 2007)

Senin, 23 Juli 2012

AWAS, PUASA KITA BISA SIA-SIA

Bulan Ramadhan 1434 sudah tiba. Umat muslim di seluruh dunia menyambut bulan suci ini dengan suka cita, meskipun ada perbedaan tentang penetapan awal puasa.
Bulan Ramadhan adalah bulan berkah, karena pada bulan ini amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya. Orang-orang Islam berlomba-lomba untuk memperbanyak amalan, seperti sholat-sholat sunah, tadarus Alquran, bersedekah, mengikuti kajian, dan lain-lain.
Tapi yang paling penting adalah menjaga puasa itu sendiri. Apalah artinya kita melakukan amalan yang banyak mendatangkan pahala, tapi puasa kita rusak sehingga pahala puasa kita musnah. Kalau hanya menahan lapar dan haus saja itu mudah dilakukan, tapi ada hal-hal yang bisa menghilangkan pahala puasa, yaitu :
- Ghibah (ngrasani/menggunjing/membicarakan kejelekan orang lain)
- Namimah (mengadu domba orang lain)
- Berbohong
- Sumpah palsu
- Melihat lawan jenis dengan syahwat (nafsu).
Kalau kita bisa meninggalkan kelima hal di atas, insya Allah puasa kita akan sempurna. Tapi sebaliknya, jika kita melakukan salah satu dari hal-hal di atas, maka sia-sialah puasa kita. memang puasa kita tidak batal, tapi kita tidak akan mendapatkan pahala apa-apa.
Pendek kata, kita harus mampu menahan diri agar tidak melakukan kelima hal di atas. Hati-hati menonton acara televisi yang berisikan tentang gosip atau hal-hal yang menyorot keburukan orang lain, karena itu termasuk ghibah.
Akhirnya, selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga kita mendapatkan berkah!