Sabtu, 04 Juni 2011

Cerpen Islami : SELAMAT JALAN SAHABAT

Aku keluar dari loket. Sungguh antrean yang melelahkan. Tubuhku basah oleh keringat. Segera kulangkahkan kakiku mendekati santri-santriku yang sudah lama menunggu. Kulambaikan tujuh lembar tiket sambil tersenyum begitu melihat mereka.
“Dapat, Pak?” tanya Antik.
“Dapat. Ini. Ayo kita masuk!”
Ternyata hampir semua bangku sudah terisi. Penonton yang sebagian besar anak-anak tampak memenuhi GOR. Mataku mencari-cari tempat yang masih kosong. Itu dia! Ada tempat yang masih cukup untuk kami bertujuh. Segera kubawa keenam santriku ke sana. Lima bangku kosong di depan dan tiga di belakangnya. Nurul, Antik, Diana, Putri, dan Dewi menempati bangku di depan. Sedangkan aku dan Rizal di belakang. Satu bangku kami biarkan kosong.
Udara terasa panas. Aku merasa haus. “Siapa yang bawa permen?”
“Saya, Pak,” Putri yang menjawab. Kemudian gadis kecil itu menyodorkan segenggam permen.
Aku mengambil satu. Rizal ikut-ikutan.
“Mau aqua, Pak?” Diana menawarkan.
Aku tersenyum malu. Aku lupa membawa minuman. “Boleh.”
Kurasa hari ini santri-santriku bersikap baik. Tidak seperti biasanya kalau sedang mengaji. Bandel-bandel. Apalagi Diana. Si Badung ini lebih sering membuatku pusing. Tapi alhamdulillah aku berhasil membujuk mereka untuk menonton pertunjukan ini.
Tiba-tiba mataku menangkap sesosok laki-laki kekar. Preman nyasar? Laki-laki itu bercelana jeans dan berkaos hitam. Kedua lengannya yang tidak tertutup menampakkan tatto sampai ke pergelangan tangan. Wajahnya hitam dan kasar, lengkap dengan rambut gondrongnya yang tampak kusut. Benar-benar sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Mau apa orang itu ke sini? Tampaknya ia sedang mencari-cari bangku kosong. Dan celakanya sekarang orang itu melangkah ke arahku. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Kosong, Dik?” ujar laki-laki itu sambil menunjuk bangku di sebelah Rizal.
“I…iya,” sahutku agak tergagap. “Zal, geser ke sana!”
Rizal menggeser tubuhnya. Aku juga bergeser. Laki-laki itu kemudian duduk di bangku yang tadi kududuki. Perasaanku semakin tidak enak. Santri-santriku menjadi terdiam. Mungkin takut terhadap laki-laki itu.
“Rokok?” tiba-tiba laki-laki itu menawarkan rokok kepadaku.
“Terima kasih. Saya tidak merokok,” tolakku lembut.
Laki-laki itu kemudian menyalakan rokoknya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Mau menegur tidak berani. Sedangkan laki-laki itu merokok dengan santainya.
Beberapa saat kemudian pertunjukan dimulai. Tidak ada acara selingan maupun pertunjukan awal. Ini yang disukai penonton. Bintang utama langsung keluar. Haddad Alwi dan Sulis, bintang yang sedang tenar saat ini, tampak berjalan dengan tenang ke tengah panggung, diikuti oleh para pengiringnya. Sambutan penonton meriah luar biasa. Tapi santri-santriku tampaknya tidak ikut bertepuk sorak. Kurasa kehadiran makhluk asing di sebelahku ini yang mengganggu suasana. Namun aku juga merasa heran. Laki-laki itu tampak gelisah. Beberapa kali ia menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Bahkan kemudian rokoknya dilempar ke lantai dan diinjaknya dengan sepatunya yang lusuh. Lalu dia memandang lepas ke panggung.
Setelah berdialog sebentar dengan penonton, kedua bintang itu mulai melantunkan salawat. Sungguh suara yang merdu dan indah. Aku terkejut ketika telingaku menangkap suara nafas berat dari sebelahku. Ketika kulirik, aku menjadi terperangah. Laki-laki bertato itu menangis. Benar-benar kulihat air mata mengalir membasahi pipinya yang hitam.
“Mas, kenapa menangis?” tanyaku lirih dan hati-hati.
“Anak itu membuatku terenyuh,” jawab lakli-laki itu sambil menghapus air mata dengan jari-jari tangannya.
“Anak itu memang beruntung. Dia benar-benar mendapatkan berkah shalawat,” ujarku.
“Setiap kali aku mendengar anak itu menyanyi, aku selalu menangis. Seakan-akan ia diciptakan Gusti Allah untuk memperingatkan aku dengan semua dosa-dosaku.”
Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Kubiarkan saja laki-laki itu sibuk dengan perasaannya sendiri, sementara mataku memandang ke arah panggung.
“Dik…!”
Aku terkejut laki-laki itu memanggilku. “Ya?”
“Apa Gusti Allah mau mengampuni aku, kalau aku mau bertobat?”
Aku terperangah, tak menyangka sama sekali laki-laki itu akan berkata demikian. “Allah itu Maha Pengampun, Mas. Dan ampunan Allah itu lebih besar daripada dosa-dosa manusia. Asal Mas bersungguh-sungguh mau bertobat, pasti Allah akan memberikan ampunan sama Mas.”
Laki-laki itu memandangku. Mungkin mencari kebenaran kata-kataku.
“Saya Aminudin.” Kuulurkan tangan kananku sambil tersenyum, mencoba menawarkan persahabatan.
Laki-laki itu tampak ragu-ragu. Namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan kanannya. Lalu kurasakan jabatan tangannya yang kuat.
“Joko. Namaku Joko.” Kulihat air matanya kembali mengalir. “Tolong saksikan, mulai sekarang aku bertobat kepada Gusti Allah!”
Aku mengangguk. Lalu aku mencoba memeluknya. Laki-laki itu malah membalas memelukku lebih kuat. Untuk beberapa saat kami saling berpelukan. Tak kami hiraukan berpasang-pasang mata memandangi kami, termasuk santri-santriku yang terbengong menyaksikan ustadznya sedang berpelukan dengan seorang preman.

***
“Pasar…pasar…plaza…masjid!”
Aku melambaikan tangan. Kopata itu berhenti di dekatku. Segera aku bergerak hendak masuk ketika si Kernet tiba-tiba memegang lenganku. Aku terkejut.
“Aminudin, ya?” kata si Kernet.
Aku terbengong. Kuamati wajah di hadapanku. Aku seperti pernah melihatnya. “Mas Joko?”
Laki-laki itu tertawa. “Iya. Mau ke mana?”
Kujabat tangan laki-laki itu. “Mau ke masjid agung. Aku pangling lho, Mas Joko,” ujarku.
Penampilan laki-laki itu sungguh lain daripada ketikaaku mengenalnya seminggu yang lalu di GOR. Rambutnya sudah dipotong rapi. Tangannya ditutup dengan kemeja lengan panjang sehingga tatonya tidak kelihatan sama sekali.
“Yah… beginilah. Ayo!”
Aku masuk. Duduk dekat pintu menghadap ke belakang. Kopata mulai bergerak.
“Bagaimana sekarang perasaan Masw Joko?” ujarku lirih.
Alhamdulillah. Sekarang perasaanku jadi lebih tenang. Aku benar-benar merasa menjadi manusia.”
“Kiri, Pak!” seorang ibu berteriak.
Kopata berhenti. Wanita itu bergerak turun. Mas Joko menerima ongkosnya sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lalu kopata bergerak lagi.
“Mas Kenek, ini punya ibu itu ketinggalan,” seru seorang gadis berjilbab sambil mengulurkan tas plastik hitam.
Mas Joko langsung menyambar tas itu. “Berhenti, Pak Cip!” seru Mas Joko ditujukan kepada sopir. Mas Joko langsung meloncat turun. Beruntung belum jauh. “Bu…Bu… ini punya Ibu?” Mas Joko berteriak.
Wanita itu menoleh. “Eh iya… saya lupa!”
Mas Joko berlari-lari kecil menghampiri wanita itu dan memberikan tasnya. Wanita itu menerima tasnya sambil tersenyum. Bibirnya bergerak. Mungkin mengucapkan terima kasih. Mas Joko langsung berbalik ke kopata. Kulihat wajahnya menampakkan kegembiraan.
“Hal-hal kecil begini yang membuatku merasa dihargai sebagai manusia,” ujarnya begitu duduk di bangkunya. “Ternyata membuat orang lain merasa senang juga menimbulkan rasa senang juga di hati kita.”
Aku hanya tersenyum. Kemudian Mas Joko berdiri dan berteriak-teriak mencari penumpang. Kopata berhenti lagi. Seorang olaki-laki gendut naik.
“Mas Joko sudah punya istri?” tanyaku beberapa saat kemudian.
“Belum. Tapi insya Allah sebentar lagi aku menikah.”
“Aku diundang nggak, nih?”
“Jangan khawatir. Kamu nomer satu. Kan kamu yang pertama menjadi saksi pertobatanku?”
Dua menit kemudian Masjid Agung Darussalam sudah kelihatan.
“Masjid kiri!” teriak Mas Joko.
Aku turun. Uang yang kuulurkan betul-betul ditolak Mas Joko. Aku tak bisa memaksa. “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
Kopata itu bergertak lagi. Masih kusempatkan melihat Mas Joko yang berteriak-teriak mencari penumpang. Ah, laki-laki itu sungguh beruntung.
***
“Beli apa lagi, Mbak?”
“Aku olagi pengin jeruk. Kita beli jeruk dulu, ya. Habis itu kita pulang,” sahut Mbak Indah, kakakku satu-satunya.
Hari libur begini pasar lebih ramai daripada biasanya. Aku berjalan di depan sementara Mbak Indah di belakangku. Kami keluar pasar karena kios-kios jeruk berada di pinggir jalan atau di trotoar. Aku melangkah pelan-pelan karena sesaknya para pejalan kaki. Kadang-kadang harus berhenti pula beberapa saat.
“Eh... copet... copet!” Mbak Indah tiba-tiba berteriak.
Aku menoleh dengan cepat. “Mbak....”
“Cepat kejar, Min! Itu... yang pakai kaos merah! Copet... copet...!”
Tanpa berpikir panjang aku bergerak cepat. Aku berlari lewat jalan beraspal.
“Copet... copet...!” teriakku. Aku menggerutu dalam hati karena tak ada orang yang berusaha mewnahan atau menangkap copet itu. Apa pula kerja petugas keamanan di sini? Benar-benar tak ada yang peduli. Aku pun berhenti berteriak-teriak. Kini terjadi kejar mengejar seperti dalam film. Orang berkaos merah itu berada kira-kira sepuluh meter di depanku. Sesekali ia menoleh ke belakang. Aku tak ingin berhenti mengejar. Tiba di ujung menuju jalan besar, pencopet itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Aku pun berhenti tiga meter di depannya.
“Kembalikan!” kataku keras meskipun nafasku terengah-engah.
Orang oitu tersenyum sinis. “Ini?” ujarnya datar sambil mengacungkan tinju.
Aku terperangah. Dan baru aku sadar jika sekarang aku sedang berhadapan dengan seorang penjahat. Ini sudah jauh dari pasar. Hanya sedikit orang yang lalu lalang. Apakah mereka mau percaya kalau aku berteriak ‘copet’? lalu membantuku menangkaporang itu? Aku menjadi pesimis. Atau kah aku harus melawan orang itu seorang diri? Tubuhnya yang tinggi besar membuatku berpikir lebih panjang untuk berkelahi dengannya. Dan mungkin masih ditambah kenekatannya. Atau harus kurelakan saja ia membawa pergi dompet kakakku? Tapi aku kasihan pada Mbak indah. Gajinya sebulan mungkin ada di dalamnya semua.
“Ada apa, Min?” tiba-tiba saja kudengar suara berat di dekatku.
Aku menoleh. Mas Joko! Alhamdulillah. “Orang itu mencopet dompet kakakku, Mas Joko!”
“Kembalikan!” Mas Joko berteriak garang kepada orang itu.
Laki-=laki berkaos merah itu membalikkan tubuhnya bermaksud melarikan diri. Tapi Mas Joko lebih cepat. Orang itu jatuh di atas jalan beraspal terkena tendangn Mas Joko. Belum sampai bangun orang itu sudah dipukul oleh Mas Joko. Kejadian selanjutnya aku hanya bisa mengurut dada melihat bagaimana Mas Joko menghajar penjahat itu. Sampai akhirnya penjahat iotu benar-benar tak berdaya. Wajahnya babak belur tidak karuan. Ia hanya pasrah ketika Mas Joko mengambil dompet kakakku dari saku celananya.
“Ini, Min?” kata Mas Joko sambil mengacungkan dompet itu.
“Iya. Terima kasih, Mas Joko.” Aku menerima dompet itu. “Untung ada Mas Joko.”
“Lain kali suruh kakakmu hati-hati.”
“Iya, Mas.”
“Hei, kamu opergi sana!” sentak Mas Joko pada pencopet yang masih terkapar di atas aspal.
Orang itu bangkit dengan susah payah. Lalu dengan terseok-seok ia berjalan menjauh.
“O ya... Min, aku baru berniat mau ke rumahmu.”
“Ada apa sih, Mas joko?”
“Ikut aku sebentar, yuk!”
Aku mengikuti laki-laki gagah itu. Ternyata kopatanya diparkir tidak jauh dari tempat kejadian tadi. Ia masuk sebentar. Kemudian ia keluar lagi membawa kertas berwarna merah jambu dan langsung disodorkan padaku.
“Undangan? Jadi Mas Joko benar-benar mau menikah?”
Laki-laki itu tertawa. “Kamu harus datang lho, Min. Awas kalau sampai nggak datang!”
Insya Allah, Mas Joko.”
“Sekarang kamu mau pulang? Sekalian bareng sama aku, yuk!”
“Iya sebentar, kakakku masih di pasar.” Kutinggalkan laki-laki itu.
“Aku tunggu, ya!” Mas Joko berteriak.
Kucari-cari Mbak Indah di tempat ketika ia kecopetan. Tapi ternyata kakakku sudah tidak ada di situ. Aku berjalan mondar-mandir mencari kakakku. Sampai kemudian seseorang menepuk pundakku. Mbak Indah!
“Ini, Mbak,” kataku seraya menyodorkan dompetnya.
“Kamu bisa merebutnya, Min?” tanya Mbak Indah keheranan.
“Bukan aku, Mbak. Tapi ada yang menolongku.”
“Siapa?”
“Mas Joko, preman yang pernah kuceritakan itu. Nanti Mbak Indah kenalan, ya. Sekarang dia sedang menunggu kita.”
“Boleh. Tapi kita beli jeruk dulu.”
Setelah membeli jeruk, kami segera melangkah menuju tempat di mana kopata Mas Joko menunggu. Tapi aku merasa heran ketika melihat ada kerumunan orang di sana. Dadaku mendadak berdegup keras. Perasaanku menjadi tidak enak. Apa yang terjadi? Setengah berlari aku mendatangi kerumunan itu. Tergesa-gesa aku menyibak kerumunan. Dan… innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun! Ternyata kulihat Mas Joko sedang berada di atas pangkuan Pak Cip, sopirnya, dengan posisi terlentang. Wajahnya babak belur. Sedangkan dari perutnya mengalir darah yang banyak sekali.
“Mas Joko!” seruku sambil berjongkok memegang tangannya. Tak kupedulikan darah yang memenuhi tangannya. “Kenapa?”
“Min… copet itu dating lagi. Teman-temannya banyak sekali. Mereka… mengeroyokku… perutku kena… tusuk….”
“Kita bawa ke rumah sakit, Pak Cip!” kataku cepat.
Beberapa orang membantu menaikkan Mas Joko ke dalam kopata. Mbak Indah kuminta ikut sekalian. Kopata mulai bergerak dengan kencang. Kusandarkan kepala Mas Joko di pahaku, sementara tangan kananku menggenggam tangan kanannya.
“Maafkan aku, Mas Joko. Ini semua gara-gara aku,” ujarku.
“Jangan disesali, Min. Bukankah ini sudah takdir dariGusti Allah?” ucap Mas Joko lirih. “Aku senang bisa membantu orang sebaik kamu, Min.”
Aku menggigit bibir. “Ah, lupakan saja, Mas Joko. Yang penting Mas Joko harus selamat.”
“Rasanya aku tak kuat lagi. Min, tolong katakana… apakah Gusti Allah mengampuni aku?”
“Allah Maha Pengampun, Mas Joko. Percayalah pada Allah. Dia menyukai orang berdosa yang kembali ke jalan-Nya.”
“Min, itu kakakmu?” kata Mas Joko sambil memandang Mbak Indah.
“Iya, Mas.”
Assalamu’alaikum,” sapa Mbak Indah lembut.
Wa’alaikum salam.” Mas Joko tersenyum. “Min… aku benar-benar tak kuat lagi. Apayang harus…ku…lakukan?”
Aku menjadi cemas sekali. “Ucapkan laa ilaaha illallah MuhammadurRasulullah.”
“Laa ilaaha…illallah…Muhammadur…Rasu…lullah…”
Kurasakan genggaman tangannya semakin kuat. “Ucapkan Allah…Allah!”
“Allah…Allah…Allah…”
Genggaman tangannya melemah. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum. Damai. Kutekan pergelangan tangannya. Nadinya tidak berdenyut. Ia telah pergi.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun,” ucapku lirih.
Lima orang yang berada dalam kopata hanya menunduk. Kukeluarkan kartu undangan yang kuterima beberapa waktu yang lalu. Terbayang olehku wajahnya yang tersenyum gembira ketika memberikan kertas merah jambu itu padaku. Ah, seharusnya seminggu lagi ia menikah. Tapi tupanya takdir Allah menghendaki lain. Semoga Allah menggantinya dengan bidadari surga. Lalu tanpa terasa air mataku sudah meleleh membasahi pipiku. Selamat jalan, sahabat!
Temanggung, Syawal 1422 H
Buat santri-santri TPQ ARROHMAN :
“Jangan nakal. Saya sayang kalian!”
(Pernah dimuat di majalah ANNIDA edisi Nomor 03/XII/6 Nopember 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar