Kamis, 09 Juni 2011

Cerpen Islami : K E M E N A N G A N

                Secepat kilat Totok memburu bola yang diumpankan Rizal. Si kulit bundar diterima dengan baik. Lalu Totok menggiringnya dengan lincah. Melewati dua pemain lawan. Satu pemain belakang siap menghadang. Totok berpikir dengan cepat. Bola ditendangnya ke arah Rizal yang berlari tanpa kawalan lawan. Bola menggelinding dalam jarak dua meter di depan Rizal. Rizal mengejar dengan sekuat tenaga, berlomba dengan penjaga gawang lawan. Rizal lebih beruntung. Ia lebih dulu menyentuh bola. Bahkan ia berhasil mengecoh keeper yang sekarang terguling di atas rumput karena menubruk tempat kosong. Dengan manis Rizal menendang si kulit bundar ke arah gawang yang tanpa penjaga. Dan … goal!
                Penonton bersorak sorai. Rizal dan Totok saling berpelukan dengan gembira. Detik berikutnya teman-temannya berdatangan memeluk. Semua larut dalam kegembiraan. Sedangkan tim lawan tampak tertunduk lesu.
                Satu menit kemudian peluit panjang dibunyikan wasit. Pertandingan berakhir. Totok dan kawan-kawannya berteriak lega. Satu-satunya goal yang diciptakan Rizal membawa timnya maju ke babak final.
***
                Malam harinya diadakan rapat. Totok yang menjadi ketua yang memimpin jalannya rapat. Semua pengurus diundang.
              “Bagaimana rekan Agus, ada ide untuk pertandingan final nanti?” kata Totok sambil memandang Agus yang menjadi Seksi Teknik.
                “Saya kira formasinya seperti tadi sore saja. Sepertinya itu formasi yang paling bagus untuk tim kita,” sahut Agus mantap.
                “Lalu bagaimana dengan kekuatan lawan yang akan kita hadapi?”
                “Sepertinya biasa-biasa saja. Bahkan menurut pengamatan saya, permainannya masih lebih bagus lawan kita tadi sore. Hanya … sepertinya ada yang aneh.” Agus berhenti sejenak, ingin tahu reaksi teman-temannya.
                “Aneh bagaimana?” Totok tampak tidak sabar.
                “Mungkin mereka pakai dukun,” kata Agus lirih, ragu-ragu.
                Semua mata tertuju pada Agus.
                “Iya!” tiba-tiba Hartono menyela. “Saya juga melihat seorang tua bersila di bawah pohon palem menghadap ke lapangan. Mulutnya selalu komat-kamit.”
                “Saya juga melihat keanehan beberapa kali,” kata Agus lagi. “Ketika lawan menendang bola lurus ke arah gawang, tiba-tiba bola itu melenceng ke samping gawang, padahal sudah jelas-jelas bola itu menggelinding lurus dan keeper sudah jauh dari gawang. Hal seperti itu terjadi beberapa kali. Saya kira penonton juga merasa heran dengan kejadian seperti itu.”
                Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti membenarkan uraian Agus.
                “Satu hal lagi,” Udin ikut bicara. “Ketika pertandingan belum dimulai, ada salah seorang yang memercikkan air dari kendi di bawah gawang.”
                Untuk beberapa saat semua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
                “Sakarang bagaimana?” Totok memecah kesunyian. “Ini masalah baru buat kita. Ini bukan masalah teknis, tapi bagaimana kita harus bisa mengalahkan dukun itu.”
                “Bagaimana kalau kita juga pakai dukun yang lebih sakti?” Bardi mengajukan usul.
                “Huuu!” serempak beberapa orang memebrikan reaksi. Bardi nyengir.
                Totok hanya tersenyum. Ia yang juga ketua remaja masjid tentu saja tidak mau dengan cara dukun-dukunan. Semuanya harus dilakukan dengan sportif. “Bagaimana, Pak Rohadi? Mungkin ada masukan?”
                Pak Rohadi yang menjadi penasehat klub mendehem dua kali sebelum bicara. “Kalau saya ada ide sedikit. Boleh diterima dan juga boleh ditolak. Sebaiknya kita membagi tugas.” Kemudian Pak Rohadi membeberkan rencananya. Semuanya tampak mengangguk-angguk tanda setuju.
                Rapat dibubarkan pukul 21.30. Wajah-wajah mereka tampak cerah penuh harapan. Masih ada waktu dua hari untuk persiapan pertandingan final.
***
                Pertandingan final. Penonton sudah memenuhi lapangan. Kedua kesebelasan sudah datang dan kini sedang bersiap-siap mengadakan pemanasan. Para ahli judi ramai memasang taruhan.
                Di bawah gawang sebelah selatan, seorang laki-laki tampak sedang membawa kendi dan menyiramkan isinya di sepanjang lebar gawang.
                “Wah… dukun… dukun!” beberapa penonton berteriak-teriak melihat ulah lelaki itu. Tapi orang itu tampaknya cuek saja.
                Beberapa saat setelah laki-laki itu pergi, datang lagi seorang anak muda yang menggandeng dua orang anak kecil usia tujuh tahunan ke bawah gawang itu. Lalu pemuda itu menyuruh kedua anak kecil tersebut untuk kencing di tempat itu.
                “Lho, kurang ajar. Kencing kok di situ?”
                “Bagus… bagus!” beberapa penonton berkomentar melihat adegan itu.
                Anak muda yang mengawal anak-anak itu terlihat santai. Ini salah satu cara dari klub yng dipimpin Totok untuk melawan kekuatan dukun. Konon, air kencing bisa menetralkan ‘air suci’ dari dukun. Wallohu a’lam.
                Sebelum pertandingan dimulai, Totok mengumpulkan teman-temannya. Beberapa saat mereka larut dalam do’a. Mohon segala kemudahan urusan kepada Allah Yang Mahakuasa. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘Aliyyil ‘Azhiim! Inilah perlawanan terhadap dukun yang sesungguhnya.
                Satu menit kemudian pertandingan dimulai. Menit-menit awal kedua kesebelasan masih saling menjajagi kekuatan lawan. Tapi menit-menit berikutnya kesebelasan yang dipimpin Totok mulai membangun serangan-serangan yang berbahaya.
                Nun di luar lapangan, agak jauh dari kerumunan penonton, seorang laki-laki setengah tua duduk bersila di bawah pohon palem, menghadap ke arah lapangan. Pakaiannya hitam-hitam, seperti pakaian seorang pendekar silat, dan memakai blangkon. Matanya awas melihat pertandingan, sementara mulutnya komat-kamit. Bersamaan dengan itu Rizal sedang menggiring bola di depan gawang lawan. Bahkan ia sudah masuk kotak finalty. Laki-laki setengah tua itu tampak berkeringat wajahnya. Gerak mulutnya semakin cepat.
                “Hah! Ular!” tiba-tiba laki-laki setengah tua itu terlonjak kaget. Konsentrasinya buyar seketika. Ia sampai terjengkang ke belakang karena terkejut melihat seekor ular yang  mendadak jatuh di hadapannya, sedangkan kepalanya siap mematuk ke arahnya.
                Beberapa detik kemudian dari lapangan terdengar bunyi peluit wasit dan sorak-sorai penonton. Rupanya Rizal berhasil menyarangkan bolanya ke gawang lawan.
                Si laki-laki setengah tua tampak melongo. Kemudian memaki-maki dalam hati karena usahanya telah gagal. Ini gara-gara ular keparat ini. Dengan geram diambilnya tongkatnya yang tergeletak tidak jauh darinya. Lalu diangkatnya tinggi, siap dipukulkan ke arah ular itu. Tapi ia merasa aneh. Ular itu tidak bergerak sama sekali sejak tadi. Ditajam-tajamkan matanya untuk meneliti ular itu. Sepertinya itu bukan ular sungguhan. Pelan-pelan ia mendekati ular itu, sementara tongkatnya masih terangkat tinggi. Lalu dengan gemas ia memukulkan tongkatnya ke tubuh ular itu. Mental. Si ular hanya terbalik. Geregetan diambilnya ular itu. Ternyata hanya seekor ular dari karet. Laki-laki itu menggeram dalam hati. Dongkol. Siapa yang telah berani mengganggu pekerjaannya? Buru-buru diedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Namun ia tak menemukan siapa-siapa. Kurang ajar! makinya dalam hati. Ia tidak tahu bahwa agak jauh dari tempatnya ada lima pemuda yang sedang menahan tawanya melihat segala tingkahnya dari tempat yang cukup tersembunyi.
                Setelah menenangkan diri beberapa saat, laki-laki setengah tua itu kembali duduk bersila. Mencoba lebih berkonsentrasi. Sekarang ditambah matanya yang dipejamkan. Sedangkan mulutnya tetap bergerak-gerak merapal mantera.
                Belum genap satu menit berlalu, tiba-tiba laki-laki setengah tua itu merasakan gigitan-gigitan panas di kulit lengannya. Ketika ia membuka mata, ia terkejut melihat makhluk-makhluk merah kecil sedang merayapi hampir seluruh tubuhnya. Semut merah! Laki-laki itu meloncat berdiri sambil berusaha menyingkirkan semut-semut itu dari tubuhnya. Sungguh laki-laki itu merasa tersiksa melawan makhluk-makhluk kecil itu. Gigitannya seperti sengatan api. Panas.
                Di tengah-tengah kepanikannya, ia merasa ada seseorang yang melemparkan sesuatu ke arahnya. Tanpa pikir panjang ia menangkap benda itu. Waa! Ternyata sarang semut. Dilemparkannya benda sialan itu. Tapi segerombolan semut sudah telanjur menempel di tubuh dan kedua tangannya. Laki-laki itu bertambah panic. Ia berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak meminta tolong. Lima pemuda yang mengelilinginya malah tertawa-tawa melihat perjuangan laki-laki itu. Bahkan seorang di antaranya melemparkan lagi sarang semut ke tubuh laki-laki yang malang itu.
                Peristiwa kecil itu sempat mengundang perhatian beberapa penonton bola. Celakanya mereka malah tertawa-tawa melihat adegan itu. Tak ada seorang pun yang tergerak hatinya untuk menolong laki-laki setengah tua itu.
                “Tolong! Tolong!” laki-laki setengah tua masih tetap berteriak-teriak sambil berjingkrak-jingkrak.
                “Sampeyan dibayar berapa?” seru salah seorang pemuda yang mengelilinginya.
                “Setengah juta!” jawab laki-laki itu sambil berteriak. “Saya kapok. Tobat!”
                Akhirnya kelima pemuda itu ikut membantu menyingkirkan semut-semut merah yang menempel di tubuh laki-laki itu. Beberapa menit kemudian tak ada lagi semut yang menempel. Laki-laki setengah tua itu nafasnya terengah-engah. Sekujur kulitnya berbintik-bintik merah bekas gigitan semut-semut itu.
                “Sekarang sampeyan harus pergi dari sini. Kalau tidak, kami akan menghajar sampeyan!” kata pemuda yang berpeci putih.
                “Iya… iya.” Tanpa banyak cakap lagi laki-laki malang itu meninggalkan tempatnya. Mungkin keder melihat kelima pemuda yang bertubuh kekar. Atau mungkin tidak mau disuguhi semut-semut merah lagi.
                Setelah orang itu pergi, kelima pemuda itu saling berjabat tangan sambil tersenyum. “Yes! Alhamdulillah!” Ternyata mereka adalah anak buah Totok.
                Sekarang di lapangan terjadi pertandingan yang tidak seimbang. Babak pertama kesebelasan yang dipimpin Totok sudah unggul empat kosong. Sedangkan kesebelasan lawan tampak putus asa.
                Babak kedua Totok dan kawan-kawannya semakin bersemangat. Mereka berpesta pora. Kesebelasan lawan hanya menjadi bahan ejekan penonton. Ketika peluit panjang ditiup wasit, score menunjukkan angka 11 melawan 0 untuk kesebelasan yang dipimpin Totok. Luar biasa!
                Semua tersenyum gembira. Ini kemenangan telak. Kemenangan melawan kesebelasan dan kemenangan melawan dukun. Hadiah berupa seekor sapi besar melengkapi kegembiraan mereka. Alhamdulillah!

Temanggung, September 2001

Keterangan :
Sampeyan = Kamu

(Pernah dimuat dalam Majalah SABILI Edisi Oktober 2001, nomornya lupa karena tidak punya arsipnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar